Senin, 15 Desember 2008

Ibu, Wanitaku, Mama

"Setiap ibu berjalan dengan surga di telapak kaki... "Suatu ungkapan yang barangkali berlebihan. Tapi tidak berlebihan. Sebab di telapak kaki ibu, diantara dua kakinya yang mengejan oleh kontraksi kelahiran bayi, yang membuatnya berada antara hidup dan mati, terdapat sebuah kehidupan yang dengan sengaja telah diciptakan. Dan kisah penciptaan manusia seperti diputar ulang dalam bentuknya yang lain. Tidak dari debu tanah, tapi dari darah. Dan karena itu, seorang ibu telah memelihara wasiat Tuhan untuk memenuhi bumi dengan anak cucu. Bahkan dalam tatanan semesta, seorang ibu lebih dari wanita. Ia adalah gua garba, Ibu Pertiwi, Almamater (jiwa bunda) yang mewakili tidak hanya unsur-unsur feminin tapi juga unsur kejantanan. Sebab di rahim semesta alam, semua makluk hidup lahir dan berkembang biak, dan lambang kehidupan makluk hidup itu lebih cocok dikenakan pada rahim seorang ibu. Tapi ada ibu yang menangis karena buah rahimnya gagal menjadi anak yang baik. Dan air mata seorang ibu, bila itu adalah air mata bahagia maka butir-butirnya adalah rahmat untuk sang anak. Tapi bila air mata itu adalah air mata penyesalan, maka tetesannya adalah kutukan. Kita tahu dalam legenda Sampuraga dan Malin Kundang, dua anak durhaka itu, mati karena air mata penyesalan sang ibu. Bila ternyata air mata ibu tidak berdaya, maka si ibu pantas untuk bertanya, apakah ia telah menjadi ibu yang baik-untuk anak-anaknya. Sebab kita tak bisa menutup mata ketika banyak anak lebih senang mangkal di jalan-jalan. Ketika mereka merasa bagai orang asing di rumah sendiri. Ketika ibu kandungnya tak lebih dari ibu tiri. Atau ketika susu ibunya bukan madu yang baik karena kehadiran anak sudah ditolak sejak dalam rahim. Saya kira, bila semua anak memandang ibu sebagai wujud surgawi yang terpendam di bawah telapaknya, maka setiap anak akan menghargai ibunya. Dan bila si ibu berjalan sambil meneteng kelembutan, karena di rahimya ada kandungan alam semesta, maka ia akan memelihara anak-anaknya dengan baik. Seperti alam semesta membesarkan makluk hidup. Seperti pohon memanjangkan akar-akarnya.

kini kau sudah tua
daun ketapang berulang gugur dan tumbuh
kepadamu penciptaan bagai di putar ulang
dan kau tentunya rindu menimang cucu
sabarlah, bunda

pohon-pohon hutan tak akan berhenti memanjangkan akar-akarnya
daun-daun kemangi akan runduk mencari pokoknya
kau akan mendapatkannya bunda, setelah di bawah telapakmu
kau ukir wujud surgawi dari air ketuban
yang tumpah bersama tangis pertamaku
dan tentu tangis pertama sang cucu
bayi merah dari cipratan darah berani kakek dan neneknya
akan kuhadiahkan padamu, bunda
sebuah hari pernikahan baru kalian berdua,
papa yang tengah diam di hari-hari sepi
akan duduk pada tahta pelaminan suci
mengobarkan bara cinta untuk kami yang padam
berbahagialah ibunda yang berdandan kain sutra
menenun kehidupan baru pada taplak bertuliskan:
"kami tidak menyesal menjadi orang tua"

5 komentar:

bastian limahekin mengatakan...

Perempuan yang engkau dan aku panggil "Mama", ia ibarat sebatang lilin. Memberi diri, sehabis-habisnya. Agar yang lahir dari rahimnya tahu membedakan hitam dari putih, terang dari gelap, kiri dari kanan. Agar tak seorang pun berada di luar lingkaran cinta. Arti dirinya bagi dirimu menyentak kesadaranmu paling tinggi ketika ia pergi jauh, dan tak kembali lagi, selamanya.

Bila air mata seorang ibu “tidak berdaya” meluruskan langkah laku buah rahimnya, barangkali terlalu gegabah menimpakan kegagalan itu padanya seorang diri. Sebab, sering terjadi, kedigdayaannya untuk mencinta telah dipangkas oleh parut sosial yang bebannya tak mampu ia tahankan lagi. Parut patriarkhi. Parut ekonomi. Parut politik, lantaran pengelolaan negara yang amburadul. Atau, mungkin memang anaknya itu seorang Sampuraga. Yang silau oleh kebebasan hingga lupa akarnya sendiri.

(Bastian Limahekin/London)

Olanama mengatakan...

Bastian, saya persembahkan tulisan ini untuk mama-mu tercinta. Sebelum tahu diakhir komentarmu siapa yang menulisnya, saya tahu, ini bukan sekedar komentar. Ini refleksi seorang pemikir. Slmt belajar, teman.

bastian limahekin mengatakan...

“Lorenso”, terima kasih. Sms duka itu saya terima di dini hari yang dinginnya menggigit. 22 November 2008. Membacanya, saya merasa seperti lumpuh. Dan kosong. Rasanya seperti seorang bocah yang akhirnya hanya bisa mematung ke langit, pada kabut yang terangkat pergi di pagi hari, setelah tak kuasa menahannya putih dan lembutnya dalam genggaman tangan. Memandang kagum, tapi setengah tak berdaya.

Perempuan luar biasa (di mataku) itu seorang peminat buku. Yang tak pernah menolak bila anak-anaknya minta dibelikan buku. Yang tak mau mengganggu dengan tugas-tugas rumah bila anak-anaknya sedang membaca. Yang kemudian selalu memilih dihadiahi buku.

Lebih dari itu, dia - seperti juga ibu-ibu lain - adalah buku pertama bagi anak-anaknya. Buku tentang pendar dan pernik kehidupan. Yang menghiasi halaman demi halamannya dengan teladan. Sebisa-bisanya.

Tentang komentar itu, juga terima kasih. Saya kembalikan apa pernah saya terima darimu. Kamu sendiri tahu darimana semua ini bermula.

Unknown mengatakan...

Gajah mati mninggalkan gading,harimau mati mninggalkan belang,lantas Engkau Imam Tuhan Sahabat Sejati;Oalname mninggalkan apa.buat kami??Tanya terus tanya akhirnya menjadi nyata bahwa hanya namamu sbgai penyair sesado pnyejuk jiwa yg lgi dahaga di jamannya-lah yg slalu kami kenang di kalbu terdalam.Mat jalan Sahabat,jdilah pendoa kmi snantiasa.

Unknown mengatakan...

Saya terhenyak membaca" hanya bisa mematung di kaki langit pada pagi yang beranjak pergi" 😭😭 rasanya nyeriii..
Terima kasih untuk dua sahabat yang bercerita dengan rasa melalui tulisan yang indah dan menyentuh.
Setelah menjadi ibu....sy lebih mencintai mama....
Terima kasih Tuhan... Saya masih di beri kesempatan untuk membalas jasanya.