Oleh: Olanama
Siapa mengira kalau Bung Karno, bapak proklamator itu, masih menyisakan utang 70 sen di bengkel dan dan percetakan Arnoldus Ende? Tak akan ada yang menuntut bayar, selain kebanggaan bahwa sejarah pembuangan Soekarno meninggalkan jejak di kota Ende antara tahun 1934-1938. Klub sandiwara besutan Soekarno sering memesan karcis di percetakan Arnoldus dan meminjam aula Imakulata, sebagai tempat pertunjukan. Namun, lebih dari sekedar jejak sejarah, Soekarno ternyata kerap bertukar pikiran dengan para Pastor Belanda di Biara Santo Yosef Ende; sesuatu yang sangat berguna dalam menemukan pijakan filsafat bagi Pancasila, mengingat latar belakang teologi filsafat dari para misionaris itu.
Kini, di saat Pancasila kehilangan kegaibannya dalam berbagai pandangan sektarian, kita perlu menemukan kembali universalitas yang diwariskan Soekarno dalam dasar negara kita. Maka, tepatlah penerbit Nusa Indah dalam buku Bung Karno dan Pancasila, merunut kembali kisah empat tahun pembuangan Soekarno di Flores, khususnya di Kota Ende, yang diyakini menjadi masa inspiratif bagi lahirnya Pancasila. Simaklah tulisan Bapak Djae Bara, salah seorang sahabat dekat Soekarno di Ende: ”Sesudah Bung Karno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau datang ke kota Ende pada tahun 1950. Bung Karno mengatakan atau menunjukkan bahwa pohon sukun ini adalah tempat renungan Pancasila atau sekarang dasar Filsafat Negara Indonesia yang sekarang sudah merdeka ini” (hlm. 78). Kebenaran kata-kata Djae Bara nyata dalam wawancara Cindy Adams dengan Soekarno dalam buku Bung Karno Peyambung Lidah Rakyat Indonesia: “Tempat pelarian menyendiri yang kugemari adalah di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut…Aku melihat pekerjaan Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah di kulit kayu keabu-abuan itu. Aku melihat Wishnu Yang Maha Pelindung dalam buah yang lonjong berwarna hijau. Aku melihat Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang gugur dari batangnya yang besar…Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir, bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya.Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Esa (hlm. 77-78).
Kita tentu maklum, bahwa Sukarno yang Islam, masih punya darah Hindu dari ibunya yang adalah orang Bali. Tapi renungan Trimurti di bawah pohon sukun yang tumbuh di atas tanah mayoritas Katolik, menunjukkan bahwa agama bukanlah pemisah. Hukum agama tak akan melebihi hukum Tuhan, yang oleh keesaanNya, mampu menyatukan semua makluk ciptaan. Dengan keluar dari sekat agama, kita bisa memikirkan bangsa dan revolusi yang didengungkan Soekarno. Nah, masih relevankah berbicara tentang fanatisme, dan mendasarkan negara pada salah satu agama?
Di Ende, Soekarno juga menulis beberapa lakon yang salah satunya seperti merepresentasikan hari kemerdekaan Indonesia. Lakon Dr. Syaitan, yang dipentaskan di Aula Imakulata mengisahkan kebangkitan orang mati melalui operasi di sebuah laboratorium yang anggota timnya berjumlah 8 orang (bulan kemerdekaan?). Laboratorium itu memiliki pipa penghubung yang panjangnya 45 meter (tahun kemerdekaan?) Mayat yang dioperasi belum utuh, sehingga dicari mayat seorang lain lagi, yang justru di temukan antara Km 16 dan Km 18 (tanggal kemerdekaan?).
Tentu saja, angka-angka itu bisa kebetulan. Tetapi menilik ketepatan dengan hari proklamasi, maka tidak berlebihan kalau Ende pun menjadi bagian dari sejarah kemerdekaan. Paling tidak, seperti juga lewat tujuh judul lakon yang lain, Soekarno tak berhenti mengobarkan revolusi di masa pembuangannya di Ende. Kalau ia dilarang untuk berpidato di depan umum, ia toh masih tetap berkutik dengan taring pidato yang tersembunyi di balik panggung sandiwara. Bahkan di luar panggung, Soekarno bersekutu dengan pedagang Cina untuk mengirim surat-surat rahasia kepada rekan-rekannya di Jawa seperti dr. Soetomo dan Muhamad Thamrin. Ang Hoo Lian yang sering ke Surabaya, selalu menyelipkan balasan surat untuk Soekarno di keranjang sayur, dan menitipkannya di toko The Leeuw yang kini sudah menjadi Hotel Cendana. Dengan cara itu, perjuangan tetap diteruskan. Atau menurut kata-kata Soekarno sendiri, revolusi mengalami pasang naik dan pasang surut, namun tetap menggelora secara abadi. Dan setelah sekian tahun merdeka, kita tahu, revolusi itu belum selesai.
Judul : Bung Karno dan Pancasila
Penerbit : Nusa Indah
Cetakan kedua: 2006
Tebal : 104 halaman.
Harga : Rp. 25.000,00
1 komentar:
mungkin saja revolusi itu tidak pernah ada atau mati sesudah Soekarno. Di Indonesia para revolusioner bisa dibunuh atas nama revolusi yang bertujuan (disponsori kepentingan tertentu-purposive revolution
mantap pater untuk ulasannya.....
saya bangga karena sekalipun dalam 'putih'-nya biara, masih ada manusia yang 'merah' untuk kemanusiaan dan keadilan. Tuhan mungkin menjadi nyata dalam perjuangan dan usaha tanpa henti. REVOLUSI BELUM SELESAI SO JANGAN MATIKAN REVOLUSI DI MANA PUN IA BERADA.
PROFISIAT
Posting Komentar