Kita telah di ujung tahun. Perpisahan selalu dramatis, meski kalender hanyalah sebuah periodeisasi. Nama tahun yang akan mantan adalah dua ribu delapan. Dan di antara hari-hari lalu, kita terlibat secara fisik maupun rohani dalam mencatat kertas-kertas kenangan. Ketika lembaran kenangan itu harus kita hanguskan di tengah malam pergantian, kita merasakan lakon sebuah drama. Kesedihan yang pernah membuka layarnya. Impian yang terkubur. Mungkin bahagia yang sejenak. Dan kita ingin mengucapkan selamat jalan, sebelum malam menelan kenangan itu.
Kemarin mungkin kita kelebihan waktu. Hari ini, tak ada waktu lagi. Tak ada waktu untuk benahi diri, kata Ebiet G. Ade. Bahkan tak ada tempat lagi untuk kembali. Setiap kita mengalami waktu sebagai sungai yang mengalir sampai jauh. Ketika tahun berganti, kita tiba-tiba sadar. Ada uban nakal menyelip di antara hitam rambut. Segaris keriput menghiasi ujung alis. Kalender terkelupas dari dinding. Dan mungkin terompet tahun baru digulung dari kertas bekas penanggalan. Waktu berjalan seperti tipuan maut yang membuat kita seolah lupa, bahwa kita telah menyia-nyiakan banyak hal. Satu detik mungkin tidak berharga. Tapi simaklah catatan Joe Boot dari Ravi Zacharias International Ministries: “Setiap detik 4,5 mobil dibuat di dunia, ada 2000 meter persegi hutan lenyap, ada tiga bayi dilahirkan, ada 1,5 orang meninggal. Dalam satu detik juga ada 2,4 sel darah merah diproduksi di sum-sum tulang.”
Sungguh banyak hal terjadi dalam satu detik. Maka memulai sesuatu dari hitungan detik bisa menjadi ukuran kecepatan kita dalam mengatasi pekerjaan dan soal yang masih tersisa. Kita bisa saja berhenti korupsi karena satu detik waktu mengingatkan kita akan akibat buruk tindakan kita itu bagi rakyat miskin. Indonesian Corruption Watch menempatkan NTT di urutan keenam provinsi terkorup. Dan inilah komentar paling satiris: "Paling enak korupsi di NTT karena hampir 100 persen dijamin lolos.”
Dari sisi medis, pada Pemantauan Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi NTT, tertanggal 11 maret 2006, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT melaporkan bahwa angka balita kurang gizi meningkat menjadi 86.275 orang. Balita gizi buruk sebanyak 13.251 orang. Dan balita busung lapar sebanyak 523 orang. Pada 7 Juni 2006, jumlah balita meninggal sebanyak 68 orang, meningkat dari 61 balita tahun sebelumnya atau semakin mendekati jumlah korban tragedi kelaparan besar di Flores yakni Wolofeo yang menewaskan 100 orang lebih pada tahun 1978. Menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, meski baru merebak di media massa pertengahan 2004, kasus busung lapar sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelumnya. Setiap tahun sekitar Rp 4,5 triliun-Rp 5 triliun dana digelontorkan ke NTT. Namun kesejahteraan tak membaik. Indeks pembangunan manusia NTT, menurut Badan Pusat Statistik, menempati urutan ke-28 dari 30 provinsi. Angka kemiskinan tinggi dan infrastruktur terburuk.
Begitu menyoloknya angka merah sampai mata kita tak melihat hal baik yang mungkin pernah tercatat. Itulah penghakiman sang waktu bagi sebuah keteledoran. Ia sering disebut sebagai dimensi keempat dalam sains dan punya kedudukan penting untuk observasi ilmiah yang peristiwanya diukur dalam satu kerangka. Namun relativisme mengabaikan kerangka waktu standar atau absolut, karena definisi waktu tak bisa hanya melalui pengukuran. Ia terasa panjang bagi yang bosan. Tapi pendek bagi yang ingin berlama-lama dengan sang kekasih. Pun, di depan prestasi, satu jam cerita sukses tak akan menyolok mata bila diracuni dengan satu detik kegagalan. Nila yang meracuni itu tidak hanya setitik. Susu sebelanga tak hanya rusak melainkan juga bertukar menjadi racun.
Maka tak ada waktu lagi untuk benahi diri. Waktu akan menjadi sekat pertama yang membatasi kesempatan kita. Dan kita hanya membutuhkan sebuah resolusi untuk tidak takluk pada kegagalan kemarin. Ambil waktu. Sedikit merenung. Buat neraca. Ingin tahu apa yang terjadi esok. Bermimpilah. Sebab kita mungkin masih ada di sini esok, tapi impian kita tidak.
Berbagai kalangan telah coba untuk membangun impian tentang sebuah Flores yang damai dan makmur. Tambang dengan gigi kapitalisnya telah mencuatkan mimpi untuk mendadak kaya. Tapi perlawanan tak kunjung reda. Masyarakat lebih mengimpikan listrik, jalan dan air, ketimbang menghias gigi mereka dengan kilatan cahaya emas. Menteri Pertambangan dan Energi telah bijaksana menyatakan keberatannya. Dan korem? Bukankah militer hendak memutihkan susu yang telah bertahun dirusakkan oleh nila represi? Tak ada waktu lagi memperbaiki citra. Sekat-sekat waktu sengaja dibuat oleh akal budi untuk membuat hidup sedikit mempunyai arti. Dalam hidup yang singkat dan cepat menua ini, militer tentu ingin tidur nyenyak. Membuka korem di tempat yang salah hanyalah menyentakkan tidur nyenyak menjadi igau yang panjang. Perlawanan tak akan berhenti, sekeras watak baja orang Flores, semirip puisi Wiji Thukul:
Kemarin mungkin kita kelebihan waktu. Hari ini, tak ada waktu lagi. Tak ada waktu untuk benahi diri, kata Ebiet G. Ade. Bahkan tak ada tempat lagi untuk kembali. Setiap kita mengalami waktu sebagai sungai yang mengalir sampai jauh. Ketika tahun berganti, kita tiba-tiba sadar. Ada uban nakal menyelip di antara hitam rambut. Segaris keriput menghiasi ujung alis. Kalender terkelupas dari dinding. Dan mungkin terompet tahun baru digulung dari kertas bekas penanggalan. Waktu berjalan seperti tipuan maut yang membuat kita seolah lupa, bahwa kita telah menyia-nyiakan banyak hal. Satu detik mungkin tidak berharga. Tapi simaklah catatan Joe Boot dari Ravi Zacharias International Ministries: “Setiap detik 4,5 mobil dibuat di dunia, ada 2000 meter persegi hutan lenyap, ada tiga bayi dilahirkan, ada 1,5 orang meninggal. Dalam satu detik juga ada 2,4 sel darah merah diproduksi di sum-sum tulang.”
Sungguh banyak hal terjadi dalam satu detik. Maka memulai sesuatu dari hitungan detik bisa menjadi ukuran kecepatan kita dalam mengatasi pekerjaan dan soal yang masih tersisa. Kita bisa saja berhenti korupsi karena satu detik waktu mengingatkan kita akan akibat buruk tindakan kita itu bagi rakyat miskin. Indonesian Corruption Watch menempatkan NTT di urutan keenam provinsi terkorup. Dan inilah komentar paling satiris: "Paling enak korupsi di NTT karena hampir 100 persen dijamin lolos.”
Dari sisi medis, pada Pemantauan Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi NTT, tertanggal 11 maret 2006, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT melaporkan bahwa angka balita kurang gizi meningkat menjadi 86.275 orang. Balita gizi buruk sebanyak 13.251 orang. Dan balita busung lapar sebanyak 523 orang. Pada 7 Juni 2006, jumlah balita meninggal sebanyak 68 orang, meningkat dari 61 balita tahun sebelumnya atau semakin mendekati jumlah korban tragedi kelaparan besar di Flores yakni Wolofeo yang menewaskan 100 orang lebih pada tahun 1978. Menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, meski baru merebak di media massa pertengahan 2004, kasus busung lapar sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelumnya. Setiap tahun sekitar Rp 4,5 triliun-Rp 5 triliun dana digelontorkan ke NTT. Namun kesejahteraan tak membaik. Indeks pembangunan manusia NTT, menurut Badan Pusat Statistik, menempati urutan ke-28 dari 30 provinsi. Angka kemiskinan tinggi dan infrastruktur terburuk.
Begitu menyoloknya angka merah sampai mata kita tak melihat hal baik yang mungkin pernah tercatat. Itulah penghakiman sang waktu bagi sebuah keteledoran. Ia sering disebut sebagai dimensi keempat dalam sains dan punya kedudukan penting untuk observasi ilmiah yang peristiwanya diukur dalam satu kerangka. Namun relativisme mengabaikan kerangka waktu standar atau absolut, karena definisi waktu tak bisa hanya melalui pengukuran. Ia terasa panjang bagi yang bosan. Tapi pendek bagi yang ingin berlama-lama dengan sang kekasih. Pun, di depan prestasi, satu jam cerita sukses tak akan menyolok mata bila diracuni dengan satu detik kegagalan. Nila yang meracuni itu tidak hanya setitik. Susu sebelanga tak hanya rusak melainkan juga bertukar menjadi racun.
Maka tak ada waktu lagi untuk benahi diri. Waktu akan menjadi sekat pertama yang membatasi kesempatan kita. Dan kita hanya membutuhkan sebuah resolusi untuk tidak takluk pada kegagalan kemarin. Ambil waktu. Sedikit merenung. Buat neraca. Ingin tahu apa yang terjadi esok. Bermimpilah. Sebab kita mungkin masih ada di sini esok, tapi impian kita tidak.
Berbagai kalangan telah coba untuk membangun impian tentang sebuah Flores yang damai dan makmur. Tambang dengan gigi kapitalisnya telah mencuatkan mimpi untuk mendadak kaya. Tapi perlawanan tak kunjung reda. Masyarakat lebih mengimpikan listrik, jalan dan air, ketimbang menghias gigi mereka dengan kilatan cahaya emas. Menteri Pertambangan dan Energi telah bijaksana menyatakan keberatannya. Dan korem? Bukankah militer hendak memutihkan susu yang telah bertahun dirusakkan oleh nila represi? Tak ada waktu lagi memperbaiki citra. Sekat-sekat waktu sengaja dibuat oleh akal budi untuk membuat hidup sedikit mempunyai arti. Dalam hidup yang singkat dan cepat menua ini, militer tentu ingin tidur nyenyak. Membuka korem di tempat yang salah hanyalah menyentakkan tidur nyenyak menjadi igau yang panjang. Perlawanan tak akan berhenti, sekeras watak baja orang Flores, semirip puisi Wiji Thukul:
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawatDan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantahKebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!
1 komentar:
Kae, ini Sensy Gunawan dari Poland. Saya hanya karena kebetulan belaka tertaut pada blogmu nan bijak ini. Menarik untuk membaca refleksi dan telaah sastra yang mendalam di sini. Air mata saya menggantung saat saya baca refleksi tentang teman kelas saya almarhum yang terlupakan, Eskoda. Kalau ada waktu boleh pesiar ke blog saya: www.vinadigm.wordpress.com. Salam. GBU
Posting Komentar