Selasa, 23 Desember 2008

Menggali Kubur Sendiri



Kalender tahun baru masih di angka awal. Bencana datang seperti teror pagi-pagi. Pesawat hilang. Kapal tenggelam. Tanah longsor. Sebuah parade kekuatan alam yang mengecilkan manusia di zaman canggih ini. Dan kita akan selalu seperti Ebiet, bertanya, mengapa di tanahku terjadi bencana.

Ebiet dalam sebuah wawancara menyatakan ketidaksenangannya ketika lagu ciptaannya menjadi ikon bencana dan diputar pada tenda-tenda darurat. Ada semacam drama dengan babak berlapis kesedihan, ketika anak-anak duduk dengan tatapan kosong, sementara orang tua mereka meladeni juru kamera dengan linangan air mata. Lalu datanglah para petinggi dengan baju safari, berjalan di antara tenda dengan mimik sedih yang dipaksakan. Kita akan mendengar kata-kata belasungkawa, dilafalkan secara mekanis dari mulut yang terbiasa berbohong.

Jika bencana baru sekali terjadi, kita tak akan menuding siapa-siapa. Tapi jika sepak terjangnya terus terjadi sebagai lagu wajib, kita menjadi curiga. Jangan-jangan kematian tak lagi mengusik rasa duka kita. Kematian atau ajal, kata Goenawan Mohammad, sering membuat banyak hal jadi tak jelas. Kita tak tahu kenapa sebuah kehidupan yang bergairah, pada suatu saat terhenti, dan kenapa selalu ada yang hilang dari sebuah kebersamaan. Penggalan waktu dari pedang kematian akan memisahkan anak dari orang tua, teman-teman dan mungkin guru-gurunya. Tapi jika kematian itu bisa ditunda, mengapa kita terus menerus bodoh dalam soal antisipasi?

Kita ingat ketika Aceh luluh-lantak diterjang tsunami, tak satupun peralatan militer kita sigap. Amerika mendaratkan pesawat-pesawat canggihnya, dan tentara kita seperti hilang kepercayaan dirinya. Atau di Jakarta yang rawan banjir, kita membeli pelampung dari Eropa, negeri yang tidak punya curah hujan setinggi kita. Bahkan orang barat yang jarang ditimpa gempa bumi, menyiapkan arsitek tahan gempa, dan kita menjadi pengemis abadi yang menunggu bencana untuk mendatangkan bala bantuan.
Barangkali film Abbas Kiarostami dari Iran lebih menjelaskan hal ini. Tentang perempuan tua yang ditunggu kematiannya. Sebuah kematian yang disiapkan dengan tidak memanggil dokter, melainkan mendirikan tenda duka dan menggali kubur. Perempuan itu tak mati-mati juga. Kamar yang lengang seperti turut menantikan ajal. Ketika akhirnya film itu selesai, dikabarkan bahwa perempuan itu pun mati. Hanya sedikit orang yang gegas berduka cita. Cuplikan gambar menghadirkan sutradara yang menerima sepotong tulang kaki dari penggali kubur, lantas melemparkannya ke tepi sungai. Musik datar, seperti prosesi mengantarkan potongan rangka ke arus dalam.
Begitulah cara kita menjemput kematian. Kita akan berkelit dengan alasan aksidental, tapi sebuah kubur telah menganga, digali dari sikap tidak menghargai hidup. Membabat hutan. Membunuh bayi di rahim alam. Iklim akan bergeser. Angin tak terkendali. Ketika akhirnya sebuah pesawat hilang, kapal tenggelam atau bukit runtuh, kita terkejut. Sepotong tulang dari kerabat kita, bahkan tak pernah dibawa pulang untuk dikuburkan secara layak. Di makam yang telah kita gali.

Tidak ada komentar: