Senin, 15 Desember 2008

PARANOIA



Sebuah boneka selalu menari di dalam kepalanya. Barangkali bukan boneka, melainkan miniatur tengkorak manusia yang pernah ia lubangi dengan senjata otomat. Ia bercerita dengan suara datar. Sobekan wajah tidak bahagia dan penuh luka. Wajah bekas prajurit Timor-Timur dalam perjalanan pulang ke pulau Jawa. Dalam bus, dekat kaca jendela, bayangan boneka berbentuk kuda terbang, menerbangkannya ke hutan rimba tempat ia pernah membunuh dan dibunuh. Tiba-tiba ia merasa terlalu banyak berbicara. Penumpang di sampingnya telanjur tahu banyak rahasia. Dan seperti kisah para sniper dalam film horor, ia pun menembak mati penumpang itu.

Linda Kristanti, pemenang sayembara Khatulistiwa yang menulis kisah prajurit itu, memberi judul ceritanya, ‘Kuda Terbang Mario Pinto’. Ada tragedi kematian yang dilukiskan dengan bahasa yang datar dan tanpa emosi. Dan itulah kekhasan orang dengan tipe paranoia. Ia bisa membunuh sambil tersenyum. Atau bermain-main sambil membunuh. Tapi jauh di masa lalunya, ada sebongkah pengalaman pahit yang coba ia proyeksikan.

Kita tidak tahu seberapa parah masa lalu itu, tapi membaca eksekusi yang menimpa Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, kita akan mengerti mengapa negara kita makin biadab. Ada gaya paranoia dalam permainan hukum. Tiga regu tembak dengan dua belas prajurit pada masing-masing regu. Berarti tiga puluh enam jago tembak menjalankan dinas membunuh. Delapan belas di antara tiga puluh enam senjata berisi peluru tajam. Berarti delapan belas prajurit punya kesempatan menghabisi tiga nyawa sekaligus. Dan tak perlu ada rasa bersalah. Sebab mereka tidak mengisi sendiri mulut senjatanya. Mata mereka tertutup selubung..

Tapi mata yang tertutup tak bisa menghapus kesan ‘gelap’, ketika si jago tembak ‘aman-aman’ saja sambil menduga bahwa peluru mungkin nyasar dari senjata temannya. Peluru itu makin bertambah daya membunuhnya setelah aparat hukum dan keamanan, ‘gelap mata’ terhadap berbagai upaya pembatalan. Dan benarlah kata-kata Magnis Suseno, “Membunuh seseorang dalam keraguan dengan alasan tiadanya upaya hukum lain, adalah tindakan barbar.”

Magnis tidak merinci seperti apa watak barbar itu, tapi setiap tindakan brutal atas diri orang lemah adalah barbar, sebab tak ada perimbangan kekuatan yang memungkinkan seseorang bisa membela diri. Atau lebih tepat, si barbar menebar teror atas diri orang tak berdaya untuk menyembunyikan kecemasan akan terbongkarnya fakta. Barangkali ia ingin menghapus jejak. Barangkali seperti kata Paul Tillich, tak ada obyek kecemasan yang jelas selain watak eksistensial yang membuat seseorang terus-menerus merasa terancam. Seberapa besar rasa terancamnya, dapat kita lihat dari cara ia menganiaya. Empat lubang peluru di tubuh Dominggus menjelaskan hal itu. Dan autopsi atas mayatnya tidak diperlukan. Sebab, kata Kapolri, autopsi hanya bisa terjadi pada kematian yang tidak wajar. Apakah eksekusi adalah sebuah cara kematian yang wajar?
Bila kata-kata Tillich tentang kecemasan cukup beralasan, maka betapa lucunya si barbar itu. Ia yang berwatak pembunuh harus merasa terancam di hadapan tiga petani miskin dari sebuah dusun, nun di pedalaman Beteleme, kecamatan Morowali. Sebuah dusun dengan jarak tiga ratus kilometer dari tempat kerusuhan, membuat kita ragu apakah Tibo dan dua temannya berbuat seperti yang dituduhkan. Dan perlu diketahui, ibu jari kanan Tibo buntung untuk bisa merekonstruksi cara ia memegang senjata. Lebih perlu diketahui lagi, ketiga transmigran itu tak punya akses pada kepemilikan senjata, tetapi menjadi momok bagi mereka yang justeru punya gudang peluru.

Kita pun mahfum, betapa kecemasan itu berkembang menjadi paranoia yang mengalahkan akal sehat. Sebuah boneka bermain-main di kepala jaksa dan polisi. Dan setelah tiga puluh enam senjata menyalak di kota Palu malam itu, kita pun akan tetap mendengar letupan berikutnya di lain waktu. Dengan korban lain lagi. (Olanama)

Tidak ada komentar: