Rabu, 31 Desember 2008

Tak Ada Waktu Lagi: LAWAN!

Kita telah di ujung tahun. Perpisahan selalu dramatis, meski kalender hanyalah sebuah periodeisasi. Nama tahun yang akan mantan adalah dua ribu delapan. Dan di antara hari-hari lalu, kita terlibat secara fisik maupun rohani dalam mencatat kertas-kertas kenangan. Ketika lembaran kenangan itu harus kita hanguskan di tengah malam pergantian, kita merasakan lakon sebuah drama. Kesedihan yang pernah membuka layarnya. Impian yang terkubur. Mungkin bahagia yang sejenak. Dan kita ingin mengucapkan selamat jalan, sebelum malam menelan kenangan itu.

Kemarin mungkin kita kelebihan waktu. Hari ini, tak ada waktu lagi. Tak ada waktu untuk benahi diri, kata Ebiet G. Ade. Bahkan tak ada tempat lagi untuk kembali. Setiap kita mengalami waktu sebagai sungai yang mengalir sampai jauh. Ketika tahun berganti, kita tiba-tiba sadar. Ada uban nakal menyelip di antara hitam rambut. Segaris keriput menghiasi ujung alis. Kalender terkelupas dari dinding. Dan mungkin terompet tahun baru digulung dari kertas bekas penanggalan. Waktu berjalan seperti tipuan maut yang membuat kita seolah lupa, bahwa kita telah menyia-nyiakan banyak hal. Satu detik mungkin tidak berharga. Tapi simaklah catatan Joe Boot dari Ravi Zacharias International Ministries: “Setiap detik 4,5 mobil dibuat di dunia, ada 2000 meter persegi hutan lenyap, ada tiga bayi dilahirkan, ada 1,5 orang meninggal. Dalam satu detik juga ada 2,4 sel darah merah diproduksi di sum-sum tulang.”

Sungguh banyak hal terjadi dalam satu detik. Maka memulai sesuatu dari hitungan detik bisa menjadi ukuran kecepatan kita dalam mengatasi pekerjaan dan soal yang masih tersisa. Kita bisa saja berhenti korupsi karena satu detik waktu mengingatkan kita akan akibat buruk tindakan kita itu bagi rakyat miskin. Indonesian Corruption Watch menempatkan NTT di urutan keenam provinsi terkorup. Dan inilah komentar paling satiris: "Paling enak korupsi di NTT karena hampir 100 persen dijamin lolos.”
Dari sisi medis, pada Pemantauan Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi NTT, tertanggal 11 maret 2006, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT melaporkan bahwa angka balita kurang gizi meningkat menjadi 86.275 orang. Balita gizi buruk sebanyak 13.251 orang. Dan balita busung lapar sebanyak 523 orang. Pada 7 Juni 2006, jumlah balita meninggal sebanyak 68 orang, meningkat dari 61 balita tahun sebelumnya atau semakin mendekati jumlah korban tragedi kelaparan besar di Flores yakni Wolofeo yang menewaskan 100 orang lebih pada tahun 1978. Menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, meski baru merebak di media massa pertengahan 2004, kasus busung lapar sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelumnya. Setiap tahun sekitar Rp 4,5 triliun-Rp 5 triliun dana digelontorkan ke NTT. Namun kesejahteraan tak membaik. Indeks pembangunan manusia NTT, menurut Badan Pusat Statistik, menempati urutan ke-28 dari 30 provinsi. Angka kemiskinan tinggi dan infrastruktur terburuk.
Begitu menyoloknya angka merah sampai mata kita tak melihat hal baik yang mungkin pernah tercatat. Itulah penghakiman sang waktu bagi sebuah keteledoran. Ia sering disebut sebagai dimensi keempat dalam sains dan punya kedudukan penting untuk observasi ilmiah yang peristiwanya diukur dalam satu kerangka. Namun relativisme mengabaikan kerangka waktu standar atau absolut, karena definisi waktu tak bisa hanya melalui pengukuran. Ia terasa panjang bagi yang bosan. Tapi pendek bagi yang ingin berlama-lama dengan sang kekasih. Pun, di depan prestasi, satu jam cerita sukses tak akan menyolok mata bila diracuni dengan satu detik kegagalan. Nila yang meracuni itu tidak hanya setitik. Susu sebelanga tak hanya rusak melainkan juga bertukar menjadi racun.
Maka tak ada waktu lagi untuk benahi diri. Waktu akan menjadi sekat pertama yang membatasi kesempatan kita. Dan kita hanya membutuhkan sebuah resolusi untuk tidak takluk pada kegagalan kemarin. Ambil waktu. Sedikit merenung. Buat neraca. Ingin tahu apa yang terjadi esok. Bermimpilah. Sebab kita mungkin masih ada di sini esok, tapi impian kita tidak.
Berbagai kalangan telah coba untuk membangun impian tentang sebuah Flores yang damai dan makmur. Tambang dengan gigi kapitalisnya telah mencuatkan mimpi untuk mendadak kaya. Tapi perlawanan tak kunjung reda. Masyarakat lebih mengimpikan listrik, jalan dan air, ketimbang menghias gigi mereka dengan kilatan cahaya emas. Menteri Pertambangan dan Energi telah bijaksana menyatakan keberatannya. Dan korem? Bukankah militer hendak memutihkan susu yang telah bertahun dirusakkan oleh nila represi? Tak ada waktu lagi memperbaiki citra. Sekat-sekat waktu sengaja dibuat oleh akal budi untuk membuat hidup sedikit mempunyai arti. Dalam hidup yang singkat dan cepat menua ini, militer tentu ingin tidur nyenyak. Membuka korem di tempat yang salah hanyalah menyentakkan tidur nyenyak menjadi igau yang panjang. Perlawanan tak akan berhenti, sekeras watak baja orang Flores, semirip puisi Wiji Thukul:
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawatDan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantahKebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!









Selasa, 23 Desember 2008

Menggali Kubur Sendiri



Kalender tahun baru masih di angka awal. Bencana datang seperti teror pagi-pagi. Pesawat hilang. Kapal tenggelam. Tanah longsor. Sebuah parade kekuatan alam yang mengecilkan manusia di zaman canggih ini. Dan kita akan selalu seperti Ebiet, bertanya, mengapa di tanahku terjadi bencana.

Ebiet dalam sebuah wawancara menyatakan ketidaksenangannya ketika lagu ciptaannya menjadi ikon bencana dan diputar pada tenda-tenda darurat. Ada semacam drama dengan babak berlapis kesedihan, ketika anak-anak duduk dengan tatapan kosong, sementara orang tua mereka meladeni juru kamera dengan linangan air mata. Lalu datanglah para petinggi dengan baju safari, berjalan di antara tenda dengan mimik sedih yang dipaksakan. Kita akan mendengar kata-kata belasungkawa, dilafalkan secara mekanis dari mulut yang terbiasa berbohong.

Jika bencana baru sekali terjadi, kita tak akan menuding siapa-siapa. Tapi jika sepak terjangnya terus terjadi sebagai lagu wajib, kita menjadi curiga. Jangan-jangan kematian tak lagi mengusik rasa duka kita. Kematian atau ajal, kata Goenawan Mohammad, sering membuat banyak hal jadi tak jelas. Kita tak tahu kenapa sebuah kehidupan yang bergairah, pada suatu saat terhenti, dan kenapa selalu ada yang hilang dari sebuah kebersamaan. Penggalan waktu dari pedang kematian akan memisahkan anak dari orang tua, teman-teman dan mungkin guru-gurunya. Tapi jika kematian itu bisa ditunda, mengapa kita terus menerus bodoh dalam soal antisipasi?

Kita ingat ketika Aceh luluh-lantak diterjang tsunami, tak satupun peralatan militer kita sigap. Amerika mendaratkan pesawat-pesawat canggihnya, dan tentara kita seperti hilang kepercayaan dirinya. Atau di Jakarta yang rawan banjir, kita membeli pelampung dari Eropa, negeri yang tidak punya curah hujan setinggi kita. Bahkan orang barat yang jarang ditimpa gempa bumi, menyiapkan arsitek tahan gempa, dan kita menjadi pengemis abadi yang menunggu bencana untuk mendatangkan bala bantuan.
Barangkali film Abbas Kiarostami dari Iran lebih menjelaskan hal ini. Tentang perempuan tua yang ditunggu kematiannya. Sebuah kematian yang disiapkan dengan tidak memanggil dokter, melainkan mendirikan tenda duka dan menggali kubur. Perempuan itu tak mati-mati juga. Kamar yang lengang seperti turut menantikan ajal. Ketika akhirnya film itu selesai, dikabarkan bahwa perempuan itu pun mati. Hanya sedikit orang yang gegas berduka cita. Cuplikan gambar menghadirkan sutradara yang menerima sepotong tulang kaki dari penggali kubur, lantas melemparkannya ke tepi sungai. Musik datar, seperti prosesi mengantarkan potongan rangka ke arus dalam.
Begitulah cara kita menjemput kematian. Kita akan berkelit dengan alasan aksidental, tapi sebuah kubur telah menganga, digali dari sikap tidak menghargai hidup. Membabat hutan. Membunuh bayi di rahim alam. Iklim akan bergeser. Angin tak terkendali. Ketika akhirnya sebuah pesawat hilang, kapal tenggelam atau bukit runtuh, kita terkejut. Sepotong tulang dari kerabat kita, bahkan tak pernah dibawa pulang untuk dikuburkan secara layak. Di makam yang telah kita gali.

Senin, 15 Desember 2008

PARANOIA



Sebuah boneka selalu menari di dalam kepalanya. Barangkali bukan boneka, melainkan miniatur tengkorak manusia yang pernah ia lubangi dengan senjata otomat. Ia bercerita dengan suara datar. Sobekan wajah tidak bahagia dan penuh luka. Wajah bekas prajurit Timor-Timur dalam perjalanan pulang ke pulau Jawa. Dalam bus, dekat kaca jendela, bayangan boneka berbentuk kuda terbang, menerbangkannya ke hutan rimba tempat ia pernah membunuh dan dibunuh. Tiba-tiba ia merasa terlalu banyak berbicara. Penumpang di sampingnya telanjur tahu banyak rahasia. Dan seperti kisah para sniper dalam film horor, ia pun menembak mati penumpang itu.

Linda Kristanti, pemenang sayembara Khatulistiwa yang menulis kisah prajurit itu, memberi judul ceritanya, ‘Kuda Terbang Mario Pinto’. Ada tragedi kematian yang dilukiskan dengan bahasa yang datar dan tanpa emosi. Dan itulah kekhasan orang dengan tipe paranoia. Ia bisa membunuh sambil tersenyum. Atau bermain-main sambil membunuh. Tapi jauh di masa lalunya, ada sebongkah pengalaman pahit yang coba ia proyeksikan.

Kita tidak tahu seberapa parah masa lalu itu, tapi membaca eksekusi yang menimpa Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, kita akan mengerti mengapa negara kita makin biadab. Ada gaya paranoia dalam permainan hukum. Tiga regu tembak dengan dua belas prajurit pada masing-masing regu. Berarti tiga puluh enam jago tembak menjalankan dinas membunuh. Delapan belas di antara tiga puluh enam senjata berisi peluru tajam. Berarti delapan belas prajurit punya kesempatan menghabisi tiga nyawa sekaligus. Dan tak perlu ada rasa bersalah. Sebab mereka tidak mengisi sendiri mulut senjatanya. Mata mereka tertutup selubung..

Tapi mata yang tertutup tak bisa menghapus kesan ‘gelap’, ketika si jago tembak ‘aman-aman’ saja sambil menduga bahwa peluru mungkin nyasar dari senjata temannya. Peluru itu makin bertambah daya membunuhnya setelah aparat hukum dan keamanan, ‘gelap mata’ terhadap berbagai upaya pembatalan. Dan benarlah kata-kata Magnis Suseno, “Membunuh seseorang dalam keraguan dengan alasan tiadanya upaya hukum lain, adalah tindakan barbar.”

Magnis tidak merinci seperti apa watak barbar itu, tapi setiap tindakan brutal atas diri orang lemah adalah barbar, sebab tak ada perimbangan kekuatan yang memungkinkan seseorang bisa membela diri. Atau lebih tepat, si barbar menebar teror atas diri orang tak berdaya untuk menyembunyikan kecemasan akan terbongkarnya fakta. Barangkali ia ingin menghapus jejak. Barangkali seperti kata Paul Tillich, tak ada obyek kecemasan yang jelas selain watak eksistensial yang membuat seseorang terus-menerus merasa terancam. Seberapa besar rasa terancamnya, dapat kita lihat dari cara ia menganiaya. Empat lubang peluru di tubuh Dominggus menjelaskan hal itu. Dan autopsi atas mayatnya tidak diperlukan. Sebab, kata Kapolri, autopsi hanya bisa terjadi pada kematian yang tidak wajar. Apakah eksekusi adalah sebuah cara kematian yang wajar?
Bila kata-kata Tillich tentang kecemasan cukup beralasan, maka betapa lucunya si barbar itu. Ia yang berwatak pembunuh harus merasa terancam di hadapan tiga petani miskin dari sebuah dusun, nun di pedalaman Beteleme, kecamatan Morowali. Sebuah dusun dengan jarak tiga ratus kilometer dari tempat kerusuhan, membuat kita ragu apakah Tibo dan dua temannya berbuat seperti yang dituduhkan. Dan perlu diketahui, ibu jari kanan Tibo buntung untuk bisa merekonstruksi cara ia memegang senjata. Lebih perlu diketahui lagi, ketiga transmigran itu tak punya akses pada kepemilikan senjata, tetapi menjadi momok bagi mereka yang justeru punya gudang peluru.

Kita pun mahfum, betapa kecemasan itu berkembang menjadi paranoia yang mengalahkan akal sehat. Sebuah boneka bermain-main di kepala jaksa dan polisi. Dan setelah tiga puluh enam senjata menyalak di kota Palu malam itu, kita pun akan tetap mendengar letupan berikutnya di lain waktu. Dengan korban lain lagi. (Olanama)

Ibu, Wanitaku, Mama

"Setiap ibu berjalan dengan surga di telapak kaki... "Suatu ungkapan yang barangkali berlebihan. Tapi tidak berlebihan. Sebab di telapak kaki ibu, diantara dua kakinya yang mengejan oleh kontraksi kelahiran bayi, yang membuatnya berada antara hidup dan mati, terdapat sebuah kehidupan yang dengan sengaja telah diciptakan. Dan kisah penciptaan manusia seperti diputar ulang dalam bentuknya yang lain. Tidak dari debu tanah, tapi dari darah. Dan karena itu, seorang ibu telah memelihara wasiat Tuhan untuk memenuhi bumi dengan anak cucu. Bahkan dalam tatanan semesta, seorang ibu lebih dari wanita. Ia adalah gua garba, Ibu Pertiwi, Almamater (jiwa bunda) yang mewakili tidak hanya unsur-unsur feminin tapi juga unsur kejantanan. Sebab di rahim semesta alam, semua makluk hidup lahir dan berkembang biak, dan lambang kehidupan makluk hidup itu lebih cocok dikenakan pada rahim seorang ibu. Tapi ada ibu yang menangis karena buah rahimnya gagal menjadi anak yang baik. Dan air mata seorang ibu, bila itu adalah air mata bahagia maka butir-butirnya adalah rahmat untuk sang anak. Tapi bila air mata itu adalah air mata penyesalan, maka tetesannya adalah kutukan. Kita tahu dalam legenda Sampuraga dan Malin Kundang, dua anak durhaka itu, mati karena air mata penyesalan sang ibu. Bila ternyata air mata ibu tidak berdaya, maka si ibu pantas untuk bertanya, apakah ia telah menjadi ibu yang baik-untuk anak-anaknya. Sebab kita tak bisa menutup mata ketika banyak anak lebih senang mangkal di jalan-jalan. Ketika mereka merasa bagai orang asing di rumah sendiri. Ketika ibu kandungnya tak lebih dari ibu tiri. Atau ketika susu ibunya bukan madu yang baik karena kehadiran anak sudah ditolak sejak dalam rahim. Saya kira, bila semua anak memandang ibu sebagai wujud surgawi yang terpendam di bawah telapaknya, maka setiap anak akan menghargai ibunya. Dan bila si ibu berjalan sambil meneteng kelembutan, karena di rahimya ada kandungan alam semesta, maka ia akan memelihara anak-anaknya dengan baik. Seperti alam semesta membesarkan makluk hidup. Seperti pohon memanjangkan akar-akarnya.

kini kau sudah tua
daun ketapang berulang gugur dan tumbuh
kepadamu penciptaan bagai di putar ulang
dan kau tentunya rindu menimang cucu
sabarlah, bunda

pohon-pohon hutan tak akan berhenti memanjangkan akar-akarnya
daun-daun kemangi akan runduk mencari pokoknya
kau akan mendapatkannya bunda, setelah di bawah telapakmu
kau ukir wujud surgawi dari air ketuban
yang tumpah bersama tangis pertamaku
dan tentu tangis pertama sang cucu
bayi merah dari cipratan darah berani kakek dan neneknya
akan kuhadiahkan padamu, bunda
sebuah hari pernikahan baru kalian berdua,
papa yang tengah diam di hari-hari sepi
akan duduk pada tahta pelaminan suci
mengobarkan bara cinta untuk kami yang padam
berbahagialah ibunda yang berdandan kain sutra
menenun kehidupan baru pada taplak bertuliskan:
"kami tidak menyesal menjadi orang tua"

Jumat, 08 Agustus 2008

Bung Karno: Revolusi yang Belum Selesai


Oleh: Olanama

Siapa mengira kalau Bung Karno, bapak proklamator itu, masih menyisakan utang 70 sen di bengkel dan dan percetakan Arnoldus Ende? Tak akan ada yang menuntut bayar, selain kebanggaan bahwa sejarah pembuangan Soekarno meninggalkan jejak di kota Ende antara tahun 1934-1938. Klub sandiwara besutan Soekarno sering memesan karcis di percetakan Arnoldus dan meminjam aula Imakulata, sebagai tempat pertunjukan. Namun, lebih dari sekedar jejak sejarah, Soekarno ternyata kerap bertukar pikiran dengan para Pastor Belanda di Biara Santo Yosef Ende; sesuatu yang sangat berguna dalam menemukan pijakan filsafat bagi Pancasila, mengingat latar belakang teologi filsafat dari para misionaris itu.

Kini, di saat Pancasila kehilangan kegaibannya dalam berbagai pandangan sektarian, kita perlu menemukan kembali universalitas yang diwariskan Soekarno dalam dasar negara kita. Maka, tepatlah penerbit Nusa Indah dalam buku Bung Karno dan Pancasila, merunut kembali kisah empat tahun pembuangan Soekarno di Flores, khususnya di Kota Ende, yang diyakini menjadi masa inspiratif bagi lahirnya Pancasila. Simaklah tulisan Bapak Djae Bara, salah seorang sahabat dekat Soekarno di Ende: ”Sesudah Bung Karno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau datang ke kota Ende pada tahun 1950. Bung Karno mengatakan atau menunjukkan bahwa pohon sukun ini adalah tempat renungan Pancasila atau sekarang dasar Filsafat Negara Indonesia yang sekarang sudah merdeka ini” (hlm. 78). Kebenaran kata-kata Djae Bara nyata dalam wawancara Cindy Adams dengan Soekarno dalam buku Bung Karno Peyambung Lidah Rakyat Indonesia: “Tempat pelarian menyendiri yang kugemari adalah di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut…Aku melihat pekerjaan Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah di kulit kayu keabu-abuan itu. Aku melihat Wishnu Yang Maha Pelindung dalam buah yang lonjong berwarna hijau. Aku melihat Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang gugur dari batangnya yang besar…Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir, bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya.Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Esa (hlm. 77-78).

Kita tentu maklum, bahwa Sukarno yang Islam, masih punya darah Hindu dari ibunya yang adalah orang Bali. Tapi renungan Trimurti di bawah pohon sukun yang tumbuh di atas tanah mayoritas Katolik, menunjukkan bahwa agama bukanlah pemisah. Hukum agama tak akan melebihi hukum Tuhan, yang oleh keesaanNya, mampu menyatukan semua makluk ciptaan. Dengan keluar dari sekat agama, kita bisa memikirkan bangsa dan revolusi yang didengungkan Soekarno. Nah, masih relevankah berbicara tentang fanatisme, dan mendasarkan negara pada salah satu agama?

Di Ende, Soekarno juga menulis beberapa lakon yang salah satunya seperti merepresentasikan hari kemerdekaan Indonesia. Lakon Dr. Syaitan, yang dipentaskan di Aula Imakulata mengisahkan kebangkitan orang mati melalui operasi di sebuah laboratorium yang anggota timnya berjumlah 8 orang (bulan kemerdekaan?). Laboratorium itu memiliki pipa penghubung yang panjangnya 45 meter (tahun kemerdekaan?) Mayat yang dioperasi belum utuh, sehingga dicari mayat seorang lain lagi, yang justru di temukan antara Km 16 dan Km 18 (tanggal kemerdekaan?).

Tentu saja, angka-angka itu bisa kebetulan. Tetapi menilik ketepatan dengan hari proklamasi, maka tidak berlebihan kalau Ende pun menjadi bagian dari sejarah kemerdekaan. Paling tidak, seperti juga lewat tujuh judul lakon yang lain, Soekarno tak berhenti mengobarkan revolusi di masa pembuangannya di Ende. Kalau ia dilarang untuk berpidato di depan umum, ia toh masih tetap berkutik dengan taring pidato yang tersembunyi di balik panggung sandiwara. Bahkan di luar panggung, Soekarno bersekutu dengan pedagang Cina untuk mengirim surat-surat rahasia kepada rekan-rekannya di Jawa seperti dr. Soetomo dan Muhamad Thamrin. Ang Hoo Lian yang sering ke Surabaya, selalu menyelipkan balasan surat untuk Soekarno di keranjang sayur, dan menitipkannya di toko The Leeuw yang kini sudah menjadi Hotel Cendana. Dengan cara itu, perjuangan tetap diteruskan. Atau menurut kata-kata Soekarno sendiri, revolusi mengalami pasang naik dan pasang surut, namun tetap menggelora secara abadi. Dan setelah sekian tahun merdeka, kita tahu, revolusi itu belum selesai.

Judul : Bung Karno dan Pancasila

Penerbit : Nusa Indah

Cetakan kedua: 2006

Tebal : 104 halaman.

Harga : Rp. 25.000,00

Kamis, 07 Agustus 2008

FILOSOFI SEPAK BOLA


Olanama

“Mereka yang lambat, tak ikut bermain”, demikian kata filsuf Plato. Maka dalam susunan the dream team ala Kolumnis Thomas Grassberger, Plato adalah kapten kesebelasan. Sebab ia menyukai tempo tinggi. Penyair Frans Kafka yang menjadikan setiap detik adalah final bagi kehidupan, menempati posisi bek kanan. Sebab ia bergegas mempertahankan gawangnya demi merebut kemenangan. Dan pendamping Kafka di sektor kiri adalah Arno Schmidt, pendekar apokaliptik yang menuntut manusia harus selalu tergesa-gesa. Sebab setiap hari, kata Schmidt, adalah hari Sabtu di musim kompetisi di mana manusia harus bertanding dan terus bertanding. Pelapis Schmidt di bagian depan tidak lain adalah Charles Baudelaire, yang mengatakan bahwa hidup hanya mempunyai pesona tunggal yakni permainan. Jika kita masuk ke dalam suatu permainan, maka pertanyaan filosofisnya adalah: “ Maukah anda menang atau kalah?”

Dua andalan tengah yang lain ditempati oleh dua penyair besar pada zamannya, Goethe dan Dante. Goethe mengadopsi lari sebagai gerak utama dalam sepak bola untuk dijadikan antonim dari kemalasan. “Lebih baik lari daripada bermalas diri.” Tapi lari tidak hanya terbatas pada gerak cepat dua kaki manusia sebagai tumpuan. Jika kaki itu akhirnya patah atau rubuh, masih ada Dante yang tegas menulis dalam Infernale Firenze: “Yang satu roboh, yang lain tegak megah. Dengan kepala ia meloncat. Ia bertahan dengan menaruh kepala pada kakinya.”

Bila bertahan dengan kepala pun masih belum meyakinkan, masih ada sayap kanan depan atas nama Ror Wolf, si penyuka segala yang tinggi. Inilah kata-katanya: “Menembus angin, tinggi, tinggi, demikian tinggi orang melihat bola lemah melambung, gemulai tanpa suara, bercahaya bagai bulan pucat, bolanya dibelai di langit tinggi, dari semuanya ia menjauhkan diri.” Dan umpan lambung Wolf ini akan disambut oleh Petrarca, ujung tombak yang rakus gol, seperti dikatakannya: “Gol-gol itu datang dalam kawanan tanpa akhir.” Kelak, sesudah pesta gol yang menegaskan batas antara kalah dan menang, Grassberger menempatkan Karl Valentin di sayap kiri. Valentin yang realistis, melihat kekalahan dan kemenangan sebagai suatu fakta yang tak terbantahkan. Dan di bawah mistar gawang, berdiri Peter Handke, si penyair tanpa ketakutan. Penalti di lapangan hijau dan perang yang berkecamuk, dihadapinya dengan berani. Sebab kata Handke, “Dari kodratnya sepak bola itu tiada berjiwa.”

Demikianlah para filsuf dan penyair meramu metafor untuk kehidupan yang ternyata berlaku juga untuk sepak bola. Di dalam bola ada pergulatan dengan kerasnya kehidupan yang tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Johan Cruyft, legenda sepak bola Belanda pernah menulis: “Ada tiga menit dalam tiap pertandingan, yang tiap momentnya terbagi-bagi.” Kemenangan dan kekalahan sering ditentukan hanya dalam tiga menit untuk membuka mata kita akan realita hidup yang kadang penuh kejutan. Ada tragedi dan tangis bagi yang kalah. Ada komedi dan gelak tawa bagi yang menang. Dan karena dinamika kalah menang itulah, maka sepak bola menjadi olahraga yang paling banyak digemari.

Di ajang Eltari Memorial Cup 2007, tim sepakbola dari berbagai kabupaten di NTT mengalir ke satu titik di kota Atambua, Belu. Ketika bola pertama didepak dari kaki Wakil Gubernur, terasa ada yang gemuruh di langit Stadion Haliwen. Bola yang terbuat dari karet itu menarik ribuan pasang mata untuk hanya memandang dia. Lingkaran ajaib itu berputar di tanah maupun udara- seperti kata sastrawan Radhar Panca Dahana- mengorbit dalam gerak acak di antara langit dan bumi yang beremanasi di kedua kaki para seniman sepak bola. Dan di Haliwen yang gemuruh itu, bertaburan para bintang dari jagad sepak bola NTT. Kita bisa mencatat nama-nama seperti, Castelo Branco , Trio Langakamau, Ardi Pukan, Frans Sabon, Deus Wala, Frans Simposius, Fridz Zarbani, Raviki Keling, Dion Nonggor dan masih banyak yang lainnya.

Tetapi di harian Flores Pos, bersamaan dengan liputan pembukaan Eltari Memorial Cup (ETMC) yang menelan biaya 800 juta itu, kita juga disuguhi cerita tentang NTT yang kekurangan sekitar 110.000 ton beras untuk kebutuhan masyarakat hingga Desember 2007. Tak ada hubungan antara sepak bola dan beras, tapi tentu ada kaitan antara lapar dan kepadatan manusia di tepi lapangan bola. Kerumunan di tepi lapangan akan meninggalkan stadion sesudah pertandingan usai dan mendapati hidupnya masih seperti dulu. Di tengah kemiskinan, sepak bola menjadi hiburan yang menyenangkan. Tetapi di luar lapangan, bola bundar itu tak lebih dari gelembung udara kosong. Sama kosongnya dengan perut yang menahan lapar. Davor Suker, ujung tombak Kroasia ketika membobol gawang Denmark di penyisihan piala Eropa 1996 mengakui : “Luar biasa. Sepak bola adalah hidangan ternyaman yang dapat mereka (orang Kroasia) peroleh. Saya tidak membuat mereka kenyang, tapi bahagia.”

Kata-kata Davor terbukti menyulut patriotisme orang Kroasia untuk menjadikan bola kaki sebagai perang melawan penindasan. “Bagi rakyat Kroasia. Lolos dari kualifikasi Piala Eropa terasa bagai perebutan kembali tanah Krajina dari tangan Serbia, kata Nadan Vidosevic, presiden Liga Kroasia waktu itu. Pelatih Blazevich menambahkan, “Sepak bola adalah perang.”

Senada dengan patrioritisme orang Kroasia, kita pun ingin sekurang-kurangnya sepak bola menjadi inspirasi untuk keluar dari penindasan kemiskinan yang bertahun-tahun membelenggu NTT. Sayangnya, kita tak mendapati kiat untuk memenangkan, baik bola di lapangan hijau, maupun orang banyak di kantung-kantung kelaparan, kurang gizi dan busung lapar. Dari sekian banyak reportase ETMC, amat jarang pelatih berbicara tentang teknik dan pola permainan yang diperagakan oleh anak-anak asuhnya. Berbeda dengan sepak bola dunia yang lebih mengandalkan strategi pelatih, ETMC seperti hanya mengandalkan kepiawaian para pemain. Ketika halangan terjadi dalam diri pemain andalan itu, kita tak bisa berharap pada kesigapan pelatih merubah teknik dan taktik untuk menjadikan permainan lebih menghibur.

Pemain andalan untuk memenangkan lapar di NTT, adalah para pengambil keputusan di pemerintahan. Tapi karena ketiadaan teknik dan pola permainan yang elegan, maka NTT menjadi provinsi ke-4 termiskin di Indonesia. NTT bahkan menjadi provinsi paling rendah dalam indeks pemberdayaan manusia, sesuatu yang sangat berbanding terbalik dengan besarnya dana yang masuk ke kas daerah. Padahal, dalam sepak bola, yang terjadi adalah perang melawan kelemahan, agar kita keluar sebagai pemenang. Perang itu tak harus mengangkat senjata, melainkan adopsi dari sepak bola menyerang, untuk menjadikan hidup masyarakat NTT tidak melulu kalah. Tapi bagaimana filosofi perang itu?

Gol adalah tujuan akhir. Suburnya gol ibarat tingkat kemakmuran yang menggembirakan hati. Kita menyaksikan bagaimana ideologi gol menarik para pemain belakang untuk ‘bernafsu’ menyerang, seperti yang diperagakan oleh Roberto Carlos, Rio Ferdinand dan Markus Cafu di piala dunia. Kerap terjadi satu serangan didukung hingga 6-8 orang di mulut gawang, sehingga pertahanan pun sering dilapisi 8-10 orang. Semua bergerak, semua berbicara, para tifosi berteriak dalam ragam ekspresi. Dalam penyerangan yang aktif itu, sepak bola bermetamorfosa menjadi milik orang banyak. Dengan kata lain, sepak bola adalah sebuah keberpihakan.

Dan ketika seluruh stadion bergemuruh oleh riuh gerak, wicara dan kata-kata, permainan pun berubah menjadi sebuah prosa. Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal, di kota besar, di sehari-hari kita. Kepentingan pribadi dinomorduakan. Final atas kemiskinan NTT akan kita tunggu dari gubernur baru yang tidak ingat diri.


Senin, 21 April 2008

SOKRATES

(sari pidato yang batal dibacakan pada sebuah acara wisuda STFK Ledalero)

Oleh Olanama

Sejarah boleh dibengkokkan, tapi sejarah tak akan melupakan seorang Sokrates. Pada hari ketika ia menenggak racun maut itu, kebenaran sedang diangkat pada tempatnya yang mulia. Tetapi kebenaran selalu bermuka dua. Ia harus diwartakan sekaligus disembunyikan bila manusia dihadapkan pada pilihan yang pelik: mati demi kebenaran atau menyerah demi keamanan diri. Dan Sokrates memilih mati. Mungkin karena ia lebih dari seorang guru. Ia adalah seorang nabi.

Tidak banyak orang berpikir bahwa Sokrates adalah kombinasi yang serasi antara ayah yang pematung dan ibu yang mengabdi pada kesehatan. Menjadi pematung berarti bekerja dengan prinsip proporsional agar patung yang dihasilkan bisa seimbang dan tampak hidup di mata orang. Dan menjadi bidan berarti bekerja untuk keutuhan fisik agar jiwa bisa tentram. Maka berlebihan kalau Sokrates dituduh merusak generasi muda, karena hal itu bertentangan dengan prinsip proporsi seorang pematung dan prinsip kesehatan seorang juru rawat. Tapi Sokrates telah mati karena sebuah proses pendidikan dilihat sebagai perusakkan manusia.

Hari ini, jika pendidikan berpikir itu telah merusakkan manusia maka Sokrates selayaknya minum racun. Tetapi pendidikan itu sedang dihargai dan diakui oleh negara karena kedudukannya sebagai pembangun manusia. Kalau toh banyak kenyataan sosial kemasyarakatan bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan, maka dalam analoginya yang sederhana, kita ibarat sedang merasakan racun pahit pendidikan itu. Sebab, apa artinya hari wisuda kalau fungsi kenabian tidak terlaksana di mata masyarakat?

Ada macam-macam nabi. Ada nabi yang dipuja karena prestasi akademiknya yang gemilang. Ada nabi yang dicaci karena kegagalannya menyelamatkan perahu bangsa yang retak. Dan ada nabi kesiangan yang menjunjung kepalsuan di mulutnya. Tapi hakekat seorang nabi adalah kesaksian hidup dan ketegarannya dalam menghadapi kezaliman.

Dalam konteks kesaksian hidup, seorang sarjana adalah nabi dengan pengertian yang amat utuh. Ada prinsip untuk menjadikan kebenaran sebagai watak ilmiah dan pikiran kritis sebagai pisau bedah bagi penyakit kebohongan yang telah menjadi maniak dalam tubuh bangsa ini. Tetapi kebenaran selalu bermuka dua dan sikap kritis sering berwajah kompromi. Dan inilah yang kita takutkan sebagai hantu bagi fungsi profetis kaum intelektual di abad 21. Kita tak bisa menutup mata ketika mahasiswa dengan suara parau meneriakkan kebobrokan Orde Baru, tetapi setelah masuk ke dalam struktur, mereka tiba-tiba menjadi tikus yang patuh di bawah ketiak birokrasi. Di manakah letak kebenaran dan fungsi kritis yang pernah diteriak-teriakkan?

Ketika Sokrates memberondong kaum muda Athena dengan pertanyaan-pertanyaan, ia sebenarnya tengah mengupas persoalan bangsa seperti ayahnya mengupas bagian yang tak perlu dari sebuah proses pembuatan patung. Kaum muda diajak untuk berpikir dan akhirnya mengupas bagian yang tak perlu dari sebuah bangsa yang mendekati kehancuran. Tetapi resiko mengupas keadaan adalah mereguk racun dari gelas-gelas maut. Racun itu bisa berupa bubuk amunisi yang merobek tubuh para mahasiswa. Gelas maut itu bisa berupa tabung-tabung peluru yang menembusi jiwa para demonstran.

Tapi yang dituntut dari mahasiswa tentu lebih dari sekedar demonstrasi. Ada keharusan membangun keluhuran jiwa (psike) untuk dikonfrontasikan dengan status quo. Sebab hanya dalam pribadi yang punya keluhuran jiwa terdapat kemampuan untuk mengabaikan status quo demi kebenaran dan keadilan. Hak asasi harus dipulihkan, pemerataan pendapatan harus diusahakan, bila perlu dengan mengorbankan nasi di piring dan tidak lupa menuntut pemerintahan yang bersih. Tidak mencuri milik bersama dan makan sendiri ( korupsi), tidak mencuri milik bersama dan makan dengan sesama kawan (kolusi), tidak mencuri milik bersama atau membagi jabatan untuk keluarga ( nepotisme).

Tentu mewujudkan semua impian itu secara simultan di tengah Indonesia raya yang babak belur, rasa-rasanya seperti menggantang asap. Tapi menyandang sebuah idealisme di kepala mengingatkan kita akan pengetahuan sebagai keutamaan yang melebihi ijasah formal. Di dalam pengetahuan terdapat kandungan etika yang menegaskan bahwa: Pertama, orang terpelajar tidak akan melakukan hal-hal negatif. Ia hanya bisa berbuat salah karena keliru atau tidak tahu. Dia tidak sengaja karena tidak tahu apa yang baik baginya di luar disiplin ilmunya. Masalahnya kita hidup di dalam dunia di mana banyak orang sengaja membutakan matanya untuk tidak mengetahui apa yang baik itu. Bisakah kita menjadi nabi di tengah jutaan orang buta?

Kedua, orang terpelajar menyadari pengetahuan sebagai keutamaan dengan hakekat tunggal, sebagaimana kebaikan berlaku umum untuk semua bidang kehidupan. Dengan kata lain, pengetahuan adalah kebaikan tunggal yang harus ditularkan. Masalahnya kita hidup di jaman spesialisasi di mana setiap orang merasa diri pintar pada bidangnya. Bisakah kita menjadi nabi di tengah jutaan orang pintar?

Bukan kebetulan bahwa lulusan tahun akademik ini berada di arus milenium. Persoalan dunia, gereja dan bangsa tidak bisa diterka kemana arahnya, tapi yang pasti bahwa kita bersentuhan dengan keadaan yang tak menentu itu. Waktu itulah kesarjanaan kita diuji dan kenabian kita ditantang. Sokrates akan berjalan pada setiap ruas abad dengan gelas racun di tangan untuk menyodorkan kepada kita, betapa tidak gampangnya menerapkan rumusan abstrak pengetahuan kita dan menarik definisi yang mudah dicerna masyarakat. Lebih sulit lagi, bagaimana kita mengaplikasikan filsafat di tengah kehidupan yang pragmatis ini. Pertanyaannya barangkali: Apakah kegunaan filsafat? Apakah saya tidak menyesal belajar filsafat?

Jawaban atas pertanyaan di atas terletak pada kreativiitas dan eksplorasi sebagai buah yang diharapkan dari pola pendidikan kita. Apalah gunanya pendidikan jika seorang sarjana di masa pendidikan dirasuki oleh apa yang oleh Ivan Illich disebut kurikulum tersembunyi yang mengajarkan orang untuk menerima secara pasif dan bukannya kritik atas gagasan yang dilontarkan? Apalah artinya pendidikan yang membebaskan kalau seorang mahasiswa dicekoki gagasan tunggal di kepalanya bahwa prestasi intelektual terhebat adalah menghafal diktat-diktat seolah-olah hanya satu jawaban pasti untuk setiap pertanyaan. Dan apalah gunanya pendidikan kalau seorang sarjana merasa asing di tengah persoalan hidupnya sambil melihat dirinya terlunta di tengah sempitnya lapangan pekerjaan?

Kita barangkali harus mencurigai rumus-rumus asing dan indoktrinasi yang membelit sistem pendidikan kita menjadi boneka yang ventrilonquist. Di belakang layar kita seakan pandai bersuara, tetapi yang keluar adalah bahasa teknis dan bukannya ekspresi diri. Tapi kita tak perlu melarikan diri, sebab kemuliaan sang guru terletak pada ketegarannya menghadapi persoalan. Kelak kalau kemuliaan itu tidak ada pada kita, barangkali karena nilai sebuah kemuliaan selalu tak ada taranya. Sekurang-kurangnya kita tidak ingin mengkhianati sang guru dalam menampakkan pratanda Allah, mengupas bagian yang rusak dari negara ini dengan pisau keberanian dan kejujuran. Sokrates telah menampakkan pratanda itu, yang oleh Plato disebut monion semenion. Berani menerima tugas profetis sebagai intelektual berarti berani menampakkan jejak Tuhan di dunia ini.

Akhirnya, sebuah permulaan sedang berlangsung untuk menempatkan diri di tengah dunia. Kita tidak harus menjadi sarjana untuk mengerti semua persoalan hidup. Tapi sikap dan cara hidup kita menunjukkan setinggi apa kelas seseorang dalam masyarakat. Barangsiapa menyangsikan kesarjanaannya, silahkan merobek ijasahnya di depan Sokrates.

Rabu, 09 April 2008

Mengenang Eskoda


Oleh: Olanama

Tak ada yang ingat persis, kapan ia melenceng dari jalan dan membentur pagar tembok di jalan Eltari. Isi kepalanya terburai. Rekan-rekannya di Flores Pos, harus membolak-balik koran lama, untuk mengingat tanggal kematiannya. Dia hanyalah lelaki dekil yang tidak sempat menikah. Hidup di kamar darurat. Merokok. Melukis. Sesudah itu mati. Dan tentang kematian, ia menulis:

Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samodra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini

Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…

Puisi yang tercatat di seri Buku Vox ini, ditulis Eskoda tahun 1999 ketika masih belajar di Ledalero. Waktu itu ia masih berkemauan menjadi seorang imam. Tapi idealisme membawanya pergi dari biara, dan mengabdikan hidupnya hanya kepada seni. Lihat saja berbagai karikatur yang pernah menghiasi halaman Dian dan Flores Pos antara tahun 2000-2003. Lihat saja berbagai lukisan yang tergantung, baik di Nita Pleat, Maumere, semasa masih kuliah, maupun di Biara santu Yosef, Ende, semasa menjalankan orientasi pastoralnya. Om Sius teman kosnya di jalan Eltari seperti masih mencium bau cat dari sisa lukisan Eskoda. Tapi tidak banyak yang tahu, bahwa selain mati sebagai pelukis, Eskoda yang mantan wartawan Flores Pos itu, juga adalah seorang penyair. Puisi-puisinya tersebar di setiap terbitan majalah dinding kampus, maupun di halaman seri buku Vox. Tesisnya tentang Chairil Anwar menunjukkan besarnya minat pada puisi. Bahkan cara ia merokok, tak ubahnya Chairil Anwar dalam kumpulan puisi: Aku Ini Binatang Jalang.

Apa pentingnya Eskoda? Idealismenya. Ketika sama-sama bekerja di dapur majalah Vox, Eskoda telah menyatakan niatnya untuk menggali sastra Flores, yang menurutnya, masih seperti lahan tidur. Para pegiat sastra Flores masih bisa dihitung dengan jari, itu pun hanya sekedar memenuhi hobi. Kita hanya bisa mencatat Dami N. Toda yang mendunia. Selebihnya, tak seorangpun benar-benar terjun ke dunia sastra. Ada John Dami Mukese dengan Doa-Doa Semesta dan Puisi-Puisi Jelatanya. Mukese, sehari-harinya adalah seorang pastor. Ada Maria Matildis Banda, juga tidak benar-benar purna waktu. Dan ada puluhan penulis lainnya yang menyebarkan tulisan secara temporal di koran lokal. Satu-satunya terobosan, telah dibuat oleh Ledalero lewat festival yang menghasilkan kumpulan Cerpen dan Puisi: Tapak-Tapak Tak Bermakna.

Idealisme yang ditawarkan Eskoda, masih berupa mimpi yang telah coba diterjemahkan dalam hidupnya. Dalam pembicaraan suatu hari di tahun 2000, ia sempat ragu antara memilih jalan imamat dan jalan sastra. Saya meyakinkannya dengan sebuah surat dari Rusia. “Tentu, teman menyisakan pertanyaan tentang bagaimana tugas pokok sebagai imam. Tapi imamat adalah suatu tamasya yang menyenangkan. Kapal yang membawamu pergi akan menyinggahi seribu tempat untuk melahirkan puisi yang tidak akan kau ciptakan bila kau diam di rumah dan mengurus anak-istrimu. Kau hanya akan sedikit direpotkan dengan doa untuk menyenangkan penderma dan para pemimpin agamamu, dan tentunya merayakan misa seperti apel bendera di senin pagi. Tapi ada beda, bahwa dulu pada setiap hari senin kita menggerek sepotong kain kumal untuk mendengar amanat inspektur upacara yang klise dan membosankan. Sedangkan kini dalam khotbahmu, engkau menggerek beribu-ribu lembar Kitab Suci yang isinya penuh muatan sastra, lebih-lebih Perjanjian Lamanya yang mempesona.

Di kemudian hari ketika Eskoda meninggalkan biara, saya tahu, surat itu tidak mempan. Dia tidak membalasnya. Tapi dengan tekun saya mengikuti setiap investigasinya di Flores Pos. Ia memburu berita. Ia Melukis. Ia menulis puisi dan artikel. Sendirian. Tidak menikah. Mati. Tak seorang pun peduli idealisme apa yang pernah Eskoda usung. Tapi dari produktivitasnya yang tercecer di sana sini, dia telah menyumbang sesuatu yang berharga bagi seni.

Lalu bagaimana dengan sastra Flores yang pernah sesumbar untuk ia gali? Sepertinya kematian memenggal segala. Ia yang sendirian di liang kuburnya, telah memproklamirkan kesedihan itu. “Kuusung jenasahku sendiri menyinggung tepian samodra. Angin yang mengawal pantai menebar bau kematian. Kumakamkan diriku sendiri di sini.Tanpa kembang seribu janji. Tiada pula syair-syair kebangkitan.

Eskoda telah berjuang untuk mengusung idealismenya. Lilin yang coba ia nyalakan tak kuat melawan angin. Ia memakamkan kegagalannya sekaligus memadamkan lilin yang coba ia nyalakan. Ia juga seperti ragu akan kebangkitan. Hingga ajalnya, tak pernah ada perbincangan tentang sastra Flores. Jika sekali kelak Flores mewujudkan diri sebagai provinsi, kita pun harus bicara tentang tradisi kebudayaan dan khasanah sastra daerah. Tapi jejaknya tidak pernah kita tahu dari mana. Tidak juga dari Eskoda.

Sedianya saya menulis lagi sebuah surat untuk menantang. Di catatan harian, tertulis 14 April 2003. Siapa mengira kalau tanggal itu adalah hari kematian Eskoda? Surat itu tak jadi dikirim setelah mendengar berita kematiannya. Membaca ulang surat itu terasa seperti menggali potongan mimpi yang terpenggal.

“Eskoda….

Gairah untuk memperistrikan sastra menggebu-gebu di sini, ketika kita mendapati hampir semua orang amat gemar membaca. Di ruang-ruang tunggu, di bangku-bangku metro dalam kepadatan penumpang, bahkan di atas jambangan selagi mencemplungkan tinja, orang tak berhenti membaca. Tentu tidak semua membaca sastra. Tapi menilik kenyataan bahwa para sastrawan besar Rusia sangat dimanjakan oleh apresiasi masyarakatnya, kita bisa memastikan bahwa karya mereka tidak tinggal diam di rak-rak buku berdebu. Kita bisa dengan gampang menemukan satu bait puisi Aleksander Pushkin pada sesobek kertas. Kita bisa menjumpai patung Gorki atau Tolstoi atau Destoyevski yang tegak di setiap kota kelahiran mereka. Dan kita bisa mendengar karya mereka dibacakan pada setiap peringatan hari ulang tahun. Satu langkah lagi kita harus memindahkan gairah ini ke sebuah pulau kecil, Flores, tempat di mana sastra akan dikawinkan dengan tradisi budaya kita yang kaya namun belum terjamah.

Kini, setelah empat tahun kematiannya, tak ada tanda kebangkitan yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan meninggalnya seorang Eskoda.

Selasa, 11 Maret 2008

Anomali Flores

FLORES PROVINSIKU, JAWA BAHASAKU
Oleh: Olanama


Barangkali analogi ini agak dipaksa-paksakan. Seseorang telah mulai menampakkan tanda-tanda pikun, ketika pulang dari kamar kecil tanpa menutup resleting celananya. Atau lebih dari sekedar pikun, ada juga yang langsung membuang hajat di celana. Dan cerita tentang cara berbahasa Indonesia yang baik, mungkin datang dari celana. Tidak sekedar membuang kata seperti si pikun membuang hajat. Melainkan dengan kaidah yang tepat.
Guru-guru mengajari kita bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut Ejaan Yang Disempurnakan. Ada murid yang dipaksa menelan daun pepaya mentah ketika terjebak bicara bahasa ibu. Mulut seorang teman bahkan disulut dengan puntung rokok karena lalai berbahasa Indonesia. Dan siapa pernah berpikir kalau akhirnya terjadi lompatan besar dalam cara berbahasa setiap kita. Di ruang baca dan percakapan, di kotak televisi, tak hanya terdengar kata-kata Indonesia, tapi juga Inggris, dan aksen Jawa.
Coba simak kutipan berikut: asyik niye, emangnya gue pikirin, gitu lho, tenang aja, oh my god, yes of course, akhirnya dia married juga. Tak kurang dari seorang penulis bernama Remy Sylado, menjadi berang dengan kekacauan ini. Alih-alih tampil beda, para pelajar dan elite politik mengajari rakyat bermain gincu dengan bahasa yang rancu. Remy menyesalkan kata-kata yang menyembur dari mulut para pesolek bahasa. Dan ia masgul, jangan-jangan ikrar pemuda di tahun 1928 melaju ke prayojana baru, satu nusa dua bahasa. Sebab, bahasa Indonesia, kata Remy, telah diperkosa menjadi semacam gado-gado. Beberapa contoh menjelaskan hal ini. Di tahun 2001 para petinggi yang nota bene adalah terpelajar, menghadapi wawancara di banyak media. Sekjen MPR, Umar Basalim di SCTV mengatakan, “Bagaimana pun, the show must going.” Ia menyebut Sidang Istimewa menjatuhkan presiden Gus Dur, sebagai suatu show. Di TVRI, Jendral Sudrajad mengatakan, “Pemimpin politik harus memenangkan followers-nya.” Di majalah Gatra, Amien Rais bilang, “Pertemuan tersebut menghasilkan unspoken conclusion.” Dan di Metro TV, Sri Mulyani mengomentari reaksi pasar atas kebijakan baru dengan berkata, “Kalau good news, mereka akan sambut, kalau bad news, mereka akan punished.”
Tapi itu penyakit pejabat. Mereka perlu malu, bahwa puluhan tahun lalu, pendahulu kita menyerap dengan baik kata-kata asing agar tidak latah seperti beo. Kata-kata seperti: dokar, cikar, peri, musti, peluit, sama, justru dan hore merupakan serapan elegan dari: dog car, cheek car, fairy, must, flute, same, just true, dan hurrah. Bahkan di Flores, kata lego jangkar diserap dari kebiasaan Belanda yang membuang sauh sambil berseru, let’s go.
Kecanggihan menyerap bahasa itu, kini tak ada lagi. Yang ada hanyalah menelan bulat-bulat bahasa orang. Maka ketika bicara tentang provinsi Flores, kita kesulitan mencari identitas budaya yang mestinya nyata dalam bahasa. Mungkin akan lebih mudah membentuk provinsi Jawa di Flores, ketimbang memikirkan provinsi Flores tanpa identitas.
Kita prihatin bersama Remy Sylado. Tidak ketinggalan, seorang pekerja radio di sebuah ruang diskusi. Dengan nada prihatian, penyiar wanita itu mengutip temuan para pengkaji masyarakat Flores di Universitas Erlangga. Orang Flores menurut temuan itu, suka membanggakan masa lalunya, terlebih yang bangsawan. Mereka tak ingin diinjak martabat dan harga dirinya, tapi secara tidak sadar merendahkan martabatnya.
Tak ada penjelasan lanjut dari wartawati radio itu, namun kita membayangkan sebuah harkat yang dijual demi ekonomi. Kita merantau untuk memperkaya majikan, sementara banyak lahan garapan telantar di kampung halaman. Di Jakarta, orang Flores bisa menjadi tukang pukul. Kalau terpaksa mencuri, ia akan membuat tanda salib. Sebab dia Katolik. Dan sekembalinya ke kampung halaman, ia akan menyelipkan kata enggak untuk mengatakan tidak.
Malam sesudah diskusi itu, RRI Ende mengudara. Dari baterei yang suak, masih sempat terdengar suara latah sang penyiar, “Okey, deh, kita dengerin lagu, yuk.”