Rabu, 31 Desember 2008

Tak Ada Waktu Lagi: LAWAN!

Kita telah di ujung tahun. Perpisahan selalu dramatis, meski kalender hanyalah sebuah periodeisasi. Nama tahun yang akan mantan adalah dua ribu delapan. Dan di antara hari-hari lalu, kita terlibat secara fisik maupun rohani dalam mencatat kertas-kertas kenangan. Ketika lembaran kenangan itu harus kita hanguskan di tengah malam pergantian, kita merasakan lakon sebuah drama. Kesedihan yang pernah membuka layarnya. Impian yang terkubur. Mungkin bahagia yang sejenak. Dan kita ingin mengucapkan selamat jalan, sebelum malam menelan kenangan itu.

Kemarin mungkin kita kelebihan waktu. Hari ini, tak ada waktu lagi. Tak ada waktu untuk benahi diri, kata Ebiet G. Ade. Bahkan tak ada tempat lagi untuk kembali. Setiap kita mengalami waktu sebagai sungai yang mengalir sampai jauh. Ketika tahun berganti, kita tiba-tiba sadar. Ada uban nakal menyelip di antara hitam rambut. Segaris keriput menghiasi ujung alis. Kalender terkelupas dari dinding. Dan mungkin terompet tahun baru digulung dari kertas bekas penanggalan. Waktu berjalan seperti tipuan maut yang membuat kita seolah lupa, bahwa kita telah menyia-nyiakan banyak hal. Satu detik mungkin tidak berharga. Tapi simaklah catatan Joe Boot dari Ravi Zacharias International Ministries: “Setiap detik 4,5 mobil dibuat di dunia, ada 2000 meter persegi hutan lenyap, ada tiga bayi dilahirkan, ada 1,5 orang meninggal. Dalam satu detik juga ada 2,4 sel darah merah diproduksi di sum-sum tulang.”

Sungguh banyak hal terjadi dalam satu detik. Maka memulai sesuatu dari hitungan detik bisa menjadi ukuran kecepatan kita dalam mengatasi pekerjaan dan soal yang masih tersisa. Kita bisa saja berhenti korupsi karena satu detik waktu mengingatkan kita akan akibat buruk tindakan kita itu bagi rakyat miskin. Indonesian Corruption Watch menempatkan NTT di urutan keenam provinsi terkorup. Dan inilah komentar paling satiris: "Paling enak korupsi di NTT karena hampir 100 persen dijamin lolos.”
Dari sisi medis, pada Pemantauan Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi NTT, tertanggal 11 maret 2006, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT melaporkan bahwa angka balita kurang gizi meningkat menjadi 86.275 orang. Balita gizi buruk sebanyak 13.251 orang. Dan balita busung lapar sebanyak 523 orang. Pada 7 Juni 2006, jumlah balita meninggal sebanyak 68 orang, meningkat dari 61 balita tahun sebelumnya atau semakin mendekati jumlah korban tragedi kelaparan besar di Flores yakni Wolofeo yang menewaskan 100 orang lebih pada tahun 1978. Menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, meski baru merebak di media massa pertengahan 2004, kasus busung lapar sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelumnya. Setiap tahun sekitar Rp 4,5 triliun-Rp 5 triliun dana digelontorkan ke NTT. Namun kesejahteraan tak membaik. Indeks pembangunan manusia NTT, menurut Badan Pusat Statistik, menempati urutan ke-28 dari 30 provinsi. Angka kemiskinan tinggi dan infrastruktur terburuk.
Begitu menyoloknya angka merah sampai mata kita tak melihat hal baik yang mungkin pernah tercatat. Itulah penghakiman sang waktu bagi sebuah keteledoran. Ia sering disebut sebagai dimensi keempat dalam sains dan punya kedudukan penting untuk observasi ilmiah yang peristiwanya diukur dalam satu kerangka. Namun relativisme mengabaikan kerangka waktu standar atau absolut, karena definisi waktu tak bisa hanya melalui pengukuran. Ia terasa panjang bagi yang bosan. Tapi pendek bagi yang ingin berlama-lama dengan sang kekasih. Pun, di depan prestasi, satu jam cerita sukses tak akan menyolok mata bila diracuni dengan satu detik kegagalan. Nila yang meracuni itu tidak hanya setitik. Susu sebelanga tak hanya rusak melainkan juga bertukar menjadi racun.
Maka tak ada waktu lagi untuk benahi diri. Waktu akan menjadi sekat pertama yang membatasi kesempatan kita. Dan kita hanya membutuhkan sebuah resolusi untuk tidak takluk pada kegagalan kemarin. Ambil waktu. Sedikit merenung. Buat neraca. Ingin tahu apa yang terjadi esok. Bermimpilah. Sebab kita mungkin masih ada di sini esok, tapi impian kita tidak.
Berbagai kalangan telah coba untuk membangun impian tentang sebuah Flores yang damai dan makmur. Tambang dengan gigi kapitalisnya telah mencuatkan mimpi untuk mendadak kaya. Tapi perlawanan tak kunjung reda. Masyarakat lebih mengimpikan listrik, jalan dan air, ketimbang menghias gigi mereka dengan kilatan cahaya emas. Menteri Pertambangan dan Energi telah bijaksana menyatakan keberatannya. Dan korem? Bukankah militer hendak memutihkan susu yang telah bertahun dirusakkan oleh nila represi? Tak ada waktu lagi memperbaiki citra. Sekat-sekat waktu sengaja dibuat oleh akal budi untuk membuat hidup sedikit mempunyai arti. Dalam hidup yang singkat dan cepat menua ini, militer tentu ingin tidur nyenyak. Membuka korem di tempat yang salah hanyalah menyentakkan tidur nyenyak menjadi igau yang panjang. Perlawanan tak akan berhenti, sekeras watak baja orang Flores, semirip puisi Wiji Thukul:
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawatDan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantahKebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!









Selasa, 23 Desember 2008

Menggali Kubur Sendiri



Kalender tahun baru masih di angka awal. Bencana datang seperti teror pagi-pagi. Pesawat hilang. Kapal tenggelam. Tanah longsor. Sebuah parade kekuatan alam yang mengecilkan manusia di zaman canggih ini. Dan kita akan selalu seperti Ebiet, bertanya, mengapa di tanahku terjadi bencana.

Ebiet dalam sebuah wawancara menyatakan ketidaksenangannya ketika lagu ciptaannya menjadi ikon bencana dan diputar pada tenda-tenda darurat. Ada semacam drama dengan babak berlapis kesedihan, ketika anak-anak duduk dengan tatapan kosong, sementara orang tua mereka meladeni juru kamera dengan linangan air mata. Lalu datanglah para petinggi dengan baju safari, berjalan di antara tenda dengan mimik sedih yang dipaksakan. Kita akan mendengar kata-kata belasungkawa, dilafalkan secara mekanis dari mulut yang terbiasa berbohong.

Jika bencana baru sekali terjadi, kita tak akan menuding siapa-siapa. Tapi jika sepak terjangnya terus terjadi sebagai lagu wajib, kita menjadi curiga. Jangan-jangan kematian tak lagi mengusik rasa duka kita. Kematian atau ajal, kata Goenawan Mohammad, sering membuat banyak hal jadi tak jelas. Kita tak tahu kenapa sebuah kehidupan yang bergairah, pada suatu saat terhenti, dan kenapa selalu ada yang hilang dari sebuah kebersamaan. Penggalan waktu dari pedang kematian akan memisahkan anak dari orang tua, teman-teman dan mungkin guru-gurunya. Tapi jika kematian itu bisa ditunda, mengapa kita terus menerus bodoh dalam soal antisipasi?

Kita ingat ketika Aceh luluh-lantak diterjang tsunami, tak satupun peralatan militer kita sigap. Amerika mendaratkan pesawat-pesawat canggihnya, dan tentara kita seperti hilang kepercayaan dirinya. Atau di Jakarta yang rawan banjir, kita membeli pelampung dari Eropa, negeri yang tidak punya curah hujan setinggi kita. Bahkan orang barat yang jarang ditimpa gempa bumi, menyiapkan arsitek tahan gempa, dan kita menjadi pengemis abadi yang menunggu bencana untuk mendatangkan bala bantuan.
Barangkali film Abbas Kiarostami dari Iran lebih menjelaskan hal ini. Tentang perempuan tua yang ditunggu kematiannya. Sebuah kematian yang disiapkan dengan tidak memanggil dokter, melainkan mendirikan tenda duka dan menggali kubur. Perempuan itu tak mati-mati juga. Kamar yang lengang seperti turut menantikan ajal. Ketika akhirnya film itu selesai, dikabarkan bahwa perempuan itu pun mati. Hanya sedikit orang yang gegas berduka cita. Cuplikan gambar menghadirkan sutradara yang menerima sepotong tulang kaki dari penggali kubur, lantas melemparkannya ke tepi sungai. Musik datar, seperti prosesi mengantarkan potongan rangka ke arus dalam.
Begitulah cara kita menjemput kematian. Kita akan berkelit dengan alasan aksidental, tapi sebuah kubur telah menganga, digali dari sikap tidak menghargai hidup. Membabat hutan. Membunuh bayi di rahim alam. Iklim akan bergeser. Angin tak terkendali. Ketika akhirnya sebuah pesawat hilang, kapal tenggelam atau bukit runtuh, kita terkejut. Sepotong tulang dari kerabat kita, bahkan tak pernah dibawa pulang untuk dikuburkan secara layak. Di makam yang telah kita gali.

Senin, 15 Desember 2008

PARANOIA



Sebuah boneka selalu menari di dalam kepalanya. Barangkali bukan boneka, melainkan miniatur tengkorak manusia yang pernah ia lubangi dengan senjata otomat. Ia bercerita dengan suara datar. Sobekan wajah tidak bahagia dan penuh luka. Wajah bekas prajurit Timor-Timur dalam perjalanan pulang ke pulau Jawa. Dalam bus, dekat kaca jendela, bayangan boneka berbentuk kuda terbang, menerbangkannya ke hutan rimba tempat ia pernah membunuh dan dibunuh. Tiba-tiba ia merasa terlalu banyak berbicara. Penumpang di sampingnya telanjur tahu banyak rahasia. Dan seperti kisah para sniper dalam film horor, ia pun menembak mati penumpang itu.

Linda Kristanti, pemenang sayembara Khatulistiwa yang menulis kisah prajurit itu, memberi judul ceritanya, ‘Kuda Terbang Mario Pinto’. Ada tragedi kematian yang dilukiskan dengan bahasa yang datar dan tanpa emosi. Dan itulah kekhasan orang dengan tipe paranoia. Ia bisa membunuh sambil tersenyum. Atau bermain-main sambil membunuh. Tapi jauh di masa lalunya, ada sebongkah pengalaman pahit yang coba ia proyeksikan.

Kita tidak tahu seberapa parah masa lalu itu, tapi membaca eksekusi yang menimpa Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, kita akan mengerti mengapa negara kita makin biadab. Ada gaya paranoia dalam permainan hukum. Tiga regu tembak dengan dua belas prajurit pada masing-masing regu. Berarti tiga puluh enam jago tembak menjalankan dinas membunuh. Delapan belas di antara tiga puluh enam senjata berisi peluru tajam. Berarti delapan belas prajurit punya kesempatan menghabisi tiga nyawa sekaligus. Dan tak perlu ada rasa bersalah. Sebab mereka tidak mengisi sendiri mulut senjatanya. Mata mereka tertutup selubung..

Tapi mata yang tertutup tak bisa menghapus kesan ‘gelap’, ketika si jago tembak ‘aman-aman’ saja sambil menduga bahwa peluru mungkin nyasar dari senjata temannya. Peluru itu makin bertambah daya membunuhnya setelah aparat hukum dan keamanan, ‘gelap mata’ terhadap berbagai upaya pembatalan. Dan benarlah kata-kata Magnis Suseno, “Membunuh seseorang dalam keraguan dengan alasan tiadanya upaya hukum lain, adalah tindakan barbar.”

Magnis tidak merinci seperti apa watak barbar itu, tapi setiap tindakan brutal atas diri orang lemah adalah barbar, sebab tak ada perimbangan kekuatan yang memungkinkan seseorang bisa membela diri. Atau lebih tepat, si barbar menebar teror atas diri orang tak berdaya untuk menyembunyikan kecemasan akan terbongkarnya fakta. Barangkali ia ingin menghapus jejak. Barangkali seperti kata Paul Tillich, tak ada obyek kecemasan yang jelas selain watak eksistensial yang membuat seseorang terus-menerus merasa terancam. Seberapa besar rasa terancamnya, dapat kita lihat dari cara ia menganiaya. Empat lubang peluru di tubuh Dominggus menjelaskan hal itu. Dan autopsi atas mayatnya tidak diperlukan. Sebab, kata Kapolri, autopsi hanya bisa terjadi pada kematian yang tidak wajar. Apakah eksekusi adalah sebuah cara kematian yang wajar?
Bila kata-kata Tillich tentang kecemasan cukup beralasan, maka betapa lucunya si barbar itu. Ia yang berwatak pembunuh harus merasa terancam di hadapan tiga petani miskin dari sebuah dusun, nun di pedalaman Beteleme, kecamatan Morowali. Sebuah dusun dengan jarak tiga ratus kilometer dari tempat kerusuhan, membuat kita ragu apakah Tibo dan dua temannya berbuat seperti yang dituduhkan. Dan perlu diketahui, ibu jari kanan Tibo buntung untuk bisa merekonstruksi cara ia memegang senjata. Lebih perlu diketahui lagi, ketiga transmigran itu tak punya akses pada kepemilikan senjata, tetapi menjadi momok bagi mereka yang justeru punya gudang peluru.

Kita pun mahfum, betapa kecemasan itu berkembang menjadi paranoia yang mengalahkan akal sehat. Sebuah boneka bermain-main di kepala jaksa dan polisi. Dan setelah tiga puluh enam senjata menyalak di kota Palu malam itu, kita pun akan tetap mendengar letupan berikutnya di lain waktu. Dengan korban lain lagi. (Olanama)

Ibu, Wanitaku, Mama

"Setiap ibu berjalan dengan surga di telapak kaki... "Suatu ungkapan yang barangkali berlebihan. Tapi tidak berlebihan. Sebab di telapak kaki ibu, diantara dua kakinya yang mengejan oleh kontraksi kelahiran bayi, yang membuatnya berada antara hidup dan mati, terdapat sebuah kehidupan yang dengan sengaja telah diciptakan. Dan kisah penciptaan manusia seperti diputar ulang dalam bentuknya yang lain. Tidak dari debu tanah, tapi dari darah. Dan karena itu, seorang ibu telah memelihara wasiat Tuhan untuk memenuhi bumi dengan anak cucu. Bahkan dalam tatanan semesta, seorang ibu lebih dari wanita. Ia adalah gua garba, Ibu Pertiwi, Almamater (jiwa bunda) yang mewakili tidak hanya unsur-unsur feminin tapi juga unsur kejantanan. Sebab di rahim semesta alam, semua makluk hidup lahir dan berkembang biak, dan lambang kehidupan makluk hidup itu lebih cocok dikenakan pada rahim seorang ibu. Tapi ada ibu yang menangis karena buah rahimnya gagal menjadi anak yang baik. Dan air mata seorang ibu, bila itu adalah air mata bahagia maka butir-butirnya adalah rahmat untuk sang anak. Tapi bila air mata itu adalah air mata penyesalan, maka tetesannya adalah kutukan. Kita tahu dalam legenda Sampuraga dan Malin Kundang, dua anak durhaka itu, mati karena air mata penyesalan sang ibu. Bila ternyata air mata ibu tidak berdaya, maka si ibu pantas untuk bertanya, apakah ia telah menjadi ibu yang baik-untuk anak-anaknya. Sebab kita tak bisa menutup mata ketika banyak anak lebih senang mangkal di jalan-jalan. Ketika mereka merasa bagai orang asing di rumah sendiri. Ketika ibu kandungnya tak lebih dari ibu tiri. Atau ketika susu ibunya bukan madu yang baik karena kehadiran anak sudah ditolak sejak dalam rahim. Saya kira, bila semua anak memandang ibu sebagai wujud surgawi yang terpendam di bawah telapaknya, maka setiap anak akan menghargai ibunya. Dan bila si ibu berjalan sambil meneteng kelembutan, karena di rahimya ada kandungan alam semesta, maka ia akan memelihara anak-anaknya dengan baik. Seperti alam semesta membesarkan makluk hidup. Seperti pohon memanjangkan akar-akarnya.

kini kau sudah tua
daun ketapang berulang gugur dan tumbuh
kepadamu penciptaan bagai di putar ulang
dan kau tentunya rindu menimang cucu
sabarlah, bunda

pohon-pohon hutan tak akan berhenti memanjangkan akar-akarnya
daun-daun kemangi akan runduk mencari pokoknya
kau akan mendapatkannya bunda, setelah di bawah telapakmu
kau ukir wujud surgawi dari air ketuban
yang tumpah bersama tangis pertamaku
dan tentu tangis pertama sang cucu
bayi merah dari cipratan darah berani kakek dan neneknya
akan kuhadiahkan padamu, bunda
sebuah hari pernikahan baru kalian berdua,
papa yang tengah diam di hari-hari sepi
akan duduk pada tahta pelaminan suci
mengobarkan bara cinta untuk kami yang padam
berbahagialah ibunda yang berdandan kain sutra
menenun kehidupan baru pada taplak bertuliskan:
"kami tidak menyesal menjadi orang tua"