Jumat, 08 Agustus 2008

Bung Karno: Revolusi yang Belum Selesai


Oleh: Olanama

Siapa mengira kalau Bung Karno, bapak proklamator itu, masih menyisakan utang 70 sen di bengkel dan dan percetakan Arnoldus Ende? Tak akan ada yang menuntut bayar, selain kebanggaan bahwa sejarah pembuangan Soekarno meninggalkan jejak di kota Ende antara tahun 1934-1938. Klub sandiwara besutan Soekarno sering memesan karcis di percetakan Arnoldus dan meminjam aula Imakulata, sebagai tempat pertunjukan. Namun, lebih dari sekedar jejak sejarah, Soekarno ternyata kerap bertukar pikiran dengan para Pastor Belanda di Biara Santo Yosef Ende; sesuatu yang sangat berguna dalam menemukan pijakan filsafat bagi Pancasila, mengingat latar belakang teologi filsafat dari para misionaris itu.

Kini, di saat Pancasila kehilangan kegaibannya dalam berbagai pandangan sektarian, kita perlu menemukan kembali universalitas yang diwariskan Soekarno dalam dasar negara kita. Maka, tepatlah penerbit Nusa Indah dalam buku Bung Karno dan Pancasila, merunut kembali kisah empat tahun pembuangan Soekarno di Flores, khususnya di Kota Ende, yang diyakini menjadi masa inspiratif bagi lahirnya Pancasila. Simaklah tulisan Bapak Djae Bara, salah seorang sahabat dekat Soekarno di Ende: ”Sesudah Bung Karno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau datang ke kota Ende pada tahun 1950. Bung Karno mengatakan atau menunjukkan bahwa pohon sukun ini adalah tempat renungan Pancasila atau sekarang dasar Filsafat Negara Indonesia yang sekarang sudah merdeka ini” (hlm. 78). Kebenaran kata-kata Djae Bara nyata dalam wawancara Cindy Adams dengan Soekarno dalam buku Bung Karno Peyambung Lidah Rakyat Indonesia: “Tempat pelarian menyendiri yang kugemari adalah di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut…Aku melihat pekerjaan Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah di kulit kayu keabu-abuan itu. Aku melihat Wishnu Yang Maha Pelindung dalam buah yang lonjong berwarna hijau. Aku melihat Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang gugur dari batangnya yang besar…Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir, bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya.Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Esa (hlm. 77-78).

Kita tentu maklum, bahwa Sukarno yang Islam, masih punya darah Hindu dari ibunya yang adalah orang Bali. Tapi renungan Trimurti di bawah pohon sukun yang tumbuh di atas tanah mayoritas Katolik, menunjukkan bahwa agama bukanlah pemisah. Hukum agama tak akan melebihi hukum Tuhan, yang oleh keesaanNya, mampu menyatukan semua makluk ciptaan. Dengan keluar dari sekat agama, kita bisa memikirkan bangsa dan revolusi yang didengungkan Soekarno. Nah, masih relevankah berbicara tentang fanatisme, dan mendasarkan negara pada salah satu agama?

Di Ende, Soekarno juga menulis beberapa lakon yang salah satunya seperti merepresentasikan hari kemerdekaan Indonesia. Lakon Dr. Syaitan, yang dipentaskan di Aula Imakulata mengisahkan kebangkitan orang mati melalui operasi di sebuah laboratorium yang anggota timnya berjumlah 8 orang (bulan kemerdekaan?). Laboratorium itu memiliki pipa penghubung yang panjangnya 45 meter (tahun kemerdekaan?) Mayat yang dioperasi belum utuh, sehingga dicari mayat seorang lain lagi, yang justru di temukan antara Km 16 dan Km 18 (tanggal kemerdekaan?).

Tentu saja, angka-angka itu bisa kebetulan. Tetapi menilik ketepatan dengan hari proklamasi, maka tidak berlebihan kalau Ende pun menjadi bagian dari sejarah kemerdekaan. Paling tidak, seperti juga lewat tujuh judul lakon yang lain, Soekarno tak berhenti mengobarkan revolusi di masa pembuangannya di Ende. Kalau ia dilarang untuk berpidato di depan umum, ia toh masih tetap berkutik dengan taring pidato yang tersembunyi di balik panggung sandiwara. Bahkan di luar panggung, Soekarno bersekutu dengan pedagang Cina untuk mengirim surat-surat rahasia kepada rekan-rekannya di Jawa seperti dr. Soetomo dan Muhamad Thamrin. Ang Hoo Lian yang sering ke Surabaya, selalu menyelipkan balasan surat untuk Soekarno di keranjang sayur, dan menitipkannya di toko The Leeuw yang kini sudah menjadi Hotel Cendana. Dengan cara itu, perjuangan tetap diteruskan. Atau menurut kata-kata Soekarno sendiri, revolusi mengalami pasang naik dan pasang surut, namun tetap menggelora secara abadi. Dan setelah sekian tahun merdeka, kita tahu, revolusi itu belum selesai.

Judul : Bung Karno dan Pancasila

Penerbit : Nusa Indah

Cetakan kedua: 2006

Tebal : 104 halaman.

Harga : Rp. 25.000,00

Kamis, 07 Agustus 2008

FILOSOFI SEPAK BOLA


Olanama

“Mereka yang lambat, tak ikut bermain”, demikian kata filsuf Plato. Maka dalam susunan the dream team ala Kolumnis Thomas Grassberger, Plato adalah kapten kesebelasan. Sebab ia menyukai tempo tinggi. Penyair Frans Kafka yang menjadikan setiap detik adalah final bagi kehidupan, menempati posisi bek kanan. Sebab ia bergegas mempertahankan gawangnya demi merebut kemenangan. Dan pendamping Kafka di sektor kiri adalah Arno Schmidt, pendekar apokaliptik yang menuntut manusia harus selalu tergesa-gesa. Sebab setiap hari, kata Schmidt, adalah hari Sabtu di musim kompetisi di mana manusia harus bertanding dan terus bertanding. Pelapis Schmidt di bagian depan tidak lain adalah Charles Baudelaire, yang mengatakan bahwa hidup hanya mempunyai pesona tunggal yakni permainan. Jika kita masuk ke dalam suatu permainan, maka pertanyaan filosofisnya adalah: “ Maukah anda menang atau kalah?”

Dua andalan tengah yang lain ditempati oleh dua penyair besar pada zamannya, Goethe dan Dante. Goethe mengadopsi lari sebagai gerak utama dalam sepak bola untuk dijadikan antonim dari kemalasan. “Lebih baik lari daripada bermalas diri.” Tapi lari tidak hanya terbatas pada gerak cepat dua kaki manusia sebagai tumpuan. Jika kaki itu akhirnya patah atau rubuh, masih ada Dante yang tegas menulis dalam Infernale Firenze: “Yang satu roboh, yang lain tegak megah. Dengan kepala ia meloncat. Ia bertahan dengan menaruh kepala pada kakinya.”

Bila bertahan dengan kepala pun masih belum meyakinkan, masih ada sayap kanan depan atas nama Ror Wolf, si penyuka segala yang tinggi. Inilah kata-katanya: “Menembus angin, tinggi, tinggi, demikian tinggi orang melihat bola lemah melambung, gemulai tanpa suara, bercahaya bagai bulan pucat, bolanya dibelai di langit tinggi, dari semuanya ia menjauhkan diri.” Dan umpan lambung Wolf ini akan disambut oleh Petrarca, ujung tombak yang rakus gol, seperti dikatakannya: “Gol-gol itu datang dalam kawanan tanpa akhir.” Kelak, sesudah pesta gol yang menegaskan batas antara kalah dan menang, Grassberger menempatkan Karl Valentin di sayap kiri. Valentin yang realistis, melihat kekalahan dan kemenangan sebagai suatu fakta yang tak terbantahkan. Dan di bawah mistar gawang, berdiri Peter Handke, si penyair tanpa ketakutan. Penalti di lapangan hijau dan perang yang berkecamuk, dihadapinya dengan berani. Sebab kata Handke, “Dari kodratnya sepak bola itu tiada berjiwa.”

Demikianlah para filsuf dan penyair meramu metafor untuk kehidupan yang ternyata berlaku juga untuk sepak bola. Di dalam bola ada pergulatan dengan kerasnya kehidupan yang tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Johan Cruyft, legenda sepak bola Belanda pernah menulis: “Ada tiga menit dalam tiap pertandingan, yang tiap momentnya terbagi-bagi.” Kemenangan dan kekalahan sering ditentukan hanya dalam tiga menit untuk membuka mata kita akan realita hidup yang kadang penuh kejutan. Ada tragedi dan tangis bagi yang kalah. Ada komedi dan gelak tawa bagi yang menang. Dan karena dinamika kalah menang itulah, maka sepak bola menjadi olahraga yang paling banyak digemari.

Di ajang Eltari Memorial Cup 2007, tim sepakbola dari berbagai kabupaten di NTT mengalir ke satu titik di kota Atambua, Belu. Ketika bola pertama didepak dari kaki Wakil Gubernur, terasa ada yang gemuruh di langit Stadion Haliwen. Bola yang terbuat dari karet itu menarik ribuan pasang mata untuk hanya memandang dia. Lingkaran ajaib itu berputar di tanah maupun udara- seperti kata sastrawan Radhar Panca Dahana- mengorbit dalam gerak acak di antara langit dan bumi yang beremanasi di kedua kaki para seniman sepak bola. Dan di Haliwen yang gemuruh itu, bertaburan para bintang dari jagad sepak bola NTT. Kita bisa mencatat nama-nama seperti, Castelo Branco , Trio Langakamau, Ardi Pukan, Frans Sabon, Deus Wala, Frans Simposius, Fridz Zarbani, Raviki Keling, Dion Nonggor dan masih banyak yang lainnya.

Tetapi di harian Flores Pos, bersamaan dengan liputan pembukaan Eltari Memorial Cup (ETMC) yang menelan biaya 800 juta itu, kita juga disuguhi cerita tentang NTT yang kekurangan sekitar 110.000 ton beras untuk kebutuhan masyarakat hingga Desember 2007. Tak ada hubungan antara sepak bola dan beras, tapi tentu ada kaitan antara lapar dan kepadatan manusia di tepi lapangan bola. Kerumunan di tepi lapangan akan meninggalkan stadion sesudah pertandingan usai dan mendapati hidupnya masih seperti dulu. Di tengah kemiskinan, sepak bola menjadi hiburan yang menyenangkan. Tetapi di luar lapangan, bola bundar itu tak lebih dari gelembung udara kosong. Sama kosongnya dengan perut yang menahan lapar. Davor Suker, ujung tombak Kroasia ketika membobol gawang Denmark di penyisihan piala Eropa 1996 mengakui : “Luar biasa. Sepak bola adalah hidangan ternyaman yang dapat mereka (orang Kroasia) peroleh. Saya tidak membuat mereka kenyang, tapi bahagia.”

Kata-kata Davor terbukti menyulut patriotisme orang Kroasia untuk menjadikan bola kaki sebagai perang melawan penindasan. “Bagi rakyat Kroasia. Lolos dari kualifikasi Piala Eropa terasa bagai perebutan kembali tanah Krajina dari tangan Serbia, kata Nadan Vidosevic, presiden Liga Kroasia waktu itu. Pelatih Blazevich menambahkan, “Sepak bola adalah perang.”

Senada dengan patrioritisme orang Kroasia, kita pun ingin sekurang-kurangnya sepak bola menjadi inspirasi untuk keluar dari penindasan kemiskinan yang bertahun-tahun membelenggu NTT. Sayangnya, kita tak mendapati kiat untuk memenangkan, baik bola di lapangan hijau, maupun orang banyak di kantung-kantung kelaparan, kurang gizi dan busung lapar. Dari sekian banyak reportase ETMC, amat jarang pelatih berbicara tentang teknik dan pola permainan yang diperagakan oleh anak-anak asuhnya. Berbeda dengan sepak bola dunia yang lebih mengandalkan strategi pelatih, ETMC seperti hanya mengandalkan kepiawaian para pemain. Ketika halangan terjadi dalam diri pemain andalan itu, kita tak bisa berharap pada kesigapan pelatih merubah teknik dan taktik untuk menjadikan permainan lebih menghibur.

Pemain andalan untuk memenangkan lapar di NTT, adalah para pengambil keputusan di pemerintahan. Tapi karena ketiadaan teknik dan pola permainan yang elegan, maka NTT menjadi provinsi ke-4 termiskin di Indonesia. NTT bahkan menjadi provinsi paling rendah dalam indeks pemberdayaan manusia, sesuatu yang sangat berbanding terbalik dengan besarnya dana yang masuk ke kas daerah. Padahal, dalam sepak bola, yang terjadi adalah perang melawan kelemahan, agar kita keluar sebagai pemenang. Perang itu tak harus mengangkat senjata, melainkan adopsi dari sepak bola menyerang, untuk menjadikan hidup masyarakat NTT tidak melulu kalah. Tapi bagaimana filosofi perang itu?

Gol adalah tujuan akhir. Suburnya gol ibarat tingkat kemakmuran yang menggembirakan hati. Kita menyaksikan bagaimana ideologi gol menarik para pemain belakang untuk ‘bernafsu’ menyerang, seperti yang diperagakan oleh Roberto Carlos, Rio Ferdinand dan Markus Cafu di piala dunia. Kerap terjadi satu serangan didukung hingga 6-8 orang di mulut gawang, sehingga pertahanan pun sering dilapisi 8-10 orang. Semua bergerak, semua berbicara, para tifosi berteriak dalam ragam ekspresi. Dalam penyerangan yang aktif itu, sepak bola bermetamorfosa menjadi milik orang banyak. Dengan kata lain, sepak bola adalah sebuah keberpihakan.

Dan ketika seluruh stadion bergemuruh oleh riuh gerak, wicara dan kata-kata, permainan pun berubah menjadi sebuah prosa. Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal, di kota besar, di sehari-hari kita. Kepentingan pribadi dinomorduakan. Final atas kemiskinan NTT akan kita tunggu dari gubernur baru yang tidak ingat diri.