Oleh: Olanama
Tak ada yang ingat persis, kapan ia melenceng dari jalan dan membentur pagar tembok di jalan Eltari. Isi kepalanya terburai. Rekan-rekannya di Flores Pos, harus membolak-balik koran lama, untuk mengingat tanggal kematiannya. Dia hanyalah lelaki dekil yang tidak sempat menikah. Hidup di kamar darurat. Merokok. Melukis. Sesudah itu mati. Dan tentang kematian, ia menulis:
Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samodra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini
Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…
Puisi yang tercatat di seri Buku Vox ini, ditulis Eskoda tahun 1999 ketika masih belajar di Ledalero. Waktu itu ia masih berkemauan menjadi seorang imam. Tapi idealisme membawanya pergi dari biara, dan mengabdikan hidupnya hanya kepada seni. Lihat saja berbagai karikatur yang pernah menghiasi halaman Dian dan Flores Pos antara tahun 2000-2003. Lihat saja berbagai lukisan yang tergantung, baik di Nita Pleat, Maumere, semasa masih kuliah, maupun di Biara santu Yosef, Ende, semasa menjalankan orientasi pastoralnya. Om Sius teman kosnya di jalan Eltari seperti masih mencium bau cat dari sisa lukisan Eskoda. Tapi tidak banyak yang tahu, bahwa selain mati sebagai pelukis, Eskoda yang mantan wartawan Flores Pos itu, juga adalah seorang penyair. Puisi-puisinya tersebar di setiap terbitan majalah dinding kampus, maupun di halaman seri buku Vox. Tesisnya tentang Chairil Anwar menunjukkan besarnya minat pada puisi. Bahkan cara ia merokok, tak ubahnya Chairil Anwar dalam kumpulan puisi: Aku Ini Binatang Jalang.
Apa pentingnya Eskoda? Idealismenya. Ketika sama-sama bekerja di dapur majalah Vox, Eskoda telah menyatakan niatnya untuk menggali sastra Flores, yang menurutnya, masih seperti lahan tidur. Para pegiat sastra Flores masih bisa dihitung dengan jari, itu pun hanya sekedar memenuhi hobi. Kita hanya bisa mencatat Dami N. Toda yang mendunia. Selebihnya, tak seorangpun benar-benar terjun ke dunia sastra. Ada John Dami Mukese dengan Doa-Doa Semesta dan Puisi-Puisi Jelatanya. Mukese, sehari-harinya adalah seorang pastor. Ada Maria Matildis Banda, juga tidak benar-benar purna waktu. Dan ada puluhan penulis lainnya yang menyebarkan tulisan secara temporal di koran lokal. Satu-satunya terobosan, telah dibuat oleh Ledalero lewat festival yang menghasilkan kumpulan Cerpen dan Puisi: Tapak-Tapak Tak Bermakna.
Idealisme yang ditawarkan Eskoda, masih berupa mimpi yang telah coba diterjemahkan dalam hidupnya. Dalam pembicaraan suatu hari di tahun 2000, ia sempat ragu antara memilih jalan imamat dan jalan sastra. Saya meyakinkannya dengan sebuah surat dari Rusia. “Tentu, teman menyisakan pertanyaan tentang bagaimana tugas pokok sebagai imam. Tapi imamat adalah suatu tamasya yang menyenangkan. Kapal yang membawamu pergi akan menyinggahi seribu tempat untuk melahirkan puisi yang tidak akan kau ciptakan bila kau diam di rumah dan mengurus anak-istrimu. Kau hanya akan sedikit direpotkan dengan doa untuk menyenangkan penderma dan para pemimpin agamamu, dan tentunya merayakan misa seperti apel bendera di senin pagi. Tapi ada beda, bahwa dulu pada setiap hari senin kita menggerek sepotong kain kumal untuk mendengar amanat inspektur upacara yang klise dan membosankan. Sedangkan kini dalam khotbahmu, engkau menggerek beribu-ribu lembar Kitab Suci yang isinya penuh muatan sastra, lebih-lebih Perjanjian Lamanya yang mempesona.
Di kemudian hari ketika Eskoda meninggalkan biara, saya tahu, surat itu tidak mempan. Dia tidak membalasnya. Tapi dengan tekun saya mengikuti setiap investigasinya di Flores Pos. Ia memburu berita. Ia Melukis. Ia menulis puisi dan artikel. Sendirian. Tidak menikah. Mati. Tak seorang pun peduli idealisme apa yang pernah Eskoda usung. Tapi dari produktivitasnya yang tercecer di sana sini, dia telah menyumbang sesuatu yang berharga bagi seni.
Lalu bagaimana dengan sastra Flores yang pernah sesumbar untuk ia gali? Sepertinya kematian memenggal segala. Ia yang sendirian di liang kuburnya, telah memproklamirkan kesedihan itu. “Kuusung jenasahku sendiri menyinggung tepian samodra. Angin yang mengawal pantai menebar bau kematian. Kumakamkan diriku sendiri di sini.Tanpa kembang seribu janji. Tiada pula syair-syair kebangkitan.
Eskoda telah berjuang untuk mengusung idealismenya. Lilin yang coba ia nyalakan tak kuat melawan angin. Ia memakamkan kegagalannya sekaligus memadamkan lilin yang coba ia nyalakan. Ia juga seperti ragu akan kebangkitan. Hingga ajalnya, tak pernah ada perbincangan tentang sastra Flores. Jika sekali kelak Flores mewujudkan diri sebagai provinsi, kita pun harus bicara tentang tradisi kebudayaan dan khasanah sastra daerah. Tapi jejaknya tidak pernah kita tahu dari mana. Tidak juga dari Eskoda.
Sedianya saya menulis lagi sebuah surat untuk menantang. Di catatan harian, tertulis 14 April 2003. Siapa mengira kalau tanggal itu adalah hari kematian Eskoda? Surat itu tak jadi dikirim setelah mendengar berita kematiannya. Membaca ulang surat itu terasa seperti menggali potongan mimpi yang terpenggal.
“Eskoda….
Gairah untuk memperistrikan sastra menggebu-gebu di sini, ketika kita mendapati hampir semua orang amat gemar membaca. Di ruang-ruang tunggu, di bangku-bangku metro dalam kepadatan penumpang, bahkan di atas jambangan selagi mencemplungkan tinja, orang tak berhenti membaca. Tentu tidak semua membaca sastra. Tapi menilik kenyataan bahwa para sastrawan besar Rusia sangat dimanjakan oleh apresiasi masyarakatnya, kita bisa memastikan bahwa karya mereka tidak tinggal diam di rak-rak buku berdebu. Kita bisa dengan gampang menemukan satu bait puisi Aleksander Pushkin pada sesobek kertas. Kita bisa menjumpai patung Gorki atau Tolstoi atau Destoyevski yang tegak di setiap kota kelahiran mereka. Dan kita bisa mendengar karya mereka dibacakan pada setiap peringatan hari ulang tahun. Satu langkah lagi kita harus memindahkan gairah ini ke sebuah pulau kecil, Flores, tempat di mana sastra akan dikawinkan dengan tradisi budaya kita yang kaya namun belum terjamah.
Kini, setelah empat tahun kematiannya, tak ada tanda kebangkitan yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan meninggalnya seorang Eskoda.
3 komentar:
Artikel yang memukau. Lancar mengalir. Rasanya seperti Eskoda masih di sini.
Eskoda: seorang "pemberontak" yang tak suka simetri, apapun saja konotasinya. Tapi dia tahu mengubah sepi jadi sunyi. Di sana, di dalam sang sunyi, ia menjinakkan diri. Di kesunyian ia mencipta -entah kata, entah rupa. Tak tahu apa yang kini sedang ia cipta ketika t'lah lebur dalam kesunyian abadi. Mungkin sebuah master-piece untuk memuja Tuhan-nya karena pertemuan suci itu, yang telah mengakhiri ziarah ragunya?
(Bastian Limahekin/London)
Kalau benar kematian Eskoda adalah sebuah 'master-piece'pertemuan dengan Tuhan, maka betapa 'Mahabesarnya Tuhan itu. Ia tetap menunggu kita hingga garis akhir. Dengan atau tanpa tobat kita?
Lorenso, sudahkah kau dapatkan jawabannya di sana? Seberapa jauh dari spekulasi kita dulu? Titip salam untuk Eskoda.
Bastian Limahekin / Leuven
Posting Komentar