Minggu, 13 Februari 2011

HERMES

Oleh: Olanama

Di masa kecilnya, Hermes adalah anak nakal. “Kau benar-benar anak nakal,”teriak ibunya. Tidak takutkah engkau kepada dewa Apolo? Tidak tahukah engkau bahwa anak panahnya tak pernah meleset?”
“Aku tidak takut, ” jawab Hermes. Bila ia coba bertindak bodoh, aku akan ke Delfi untuk menghancurkan kuilnya.”
Demikinlah Hermes akhirnya menyangkal bahwa ia adalah pencuri, padahal telah menggasak lembu sekandang milik Apolo. Disembunyikannya lembu-lembu itu di ceruk gua. Dengan cerdik ia memakai alas kaki yang dipasang terbalik, sehingga jejak yang ditinggalkan adalah sebuah jalan pulang. Ketika Apolo mencari lembu piaraannya, ia melihat jejak kaki keluar dari gua. Ia yakin bahwa pencuri telah membawa lari lembu-lembu itu. Padahal binatang curian itu sedang tersekap di ceruk gua.
Siapa yang salah? Hermes yang cerdik atau Apolo yang bodoh? Di jaman ketika sepuluh perintah Allah masih keramat, Hermes barangkali bisa didera. Tapi kita hidup di puncak pencapaian akal, ketika kepintaran menjadi dewa dan kebodohan adalah bencana. Jika orang pintar terpaksa menjadi jahat, ia akan disamarkan oleh kata cerdik mirip si kancil yang memperdaya buaya dalam dongeng si Kancil. Kecerdikan adalah eufemisme untuk melembutkan akal bulus dan kelicikan. Kejahatan bisa berarti taktis dalam permainan. Dan Hermes adalah gurunya.
Walaupun dipaksa oleh Zeus untuk mengembalikan lembu-lembu curiannya, si kecil Hermes telah mempermalukan Apolo dengan jejak tipuan itu. Di mulut gua ia merancang akal bulus berikutnya. Mengetahui bahwa Apollo adalah dewa musik, Hermes memainkan sebentuk dawai yang aneh. Disitirnya sebuah melodi yang lembut dan indah. Apolo terpana. “Indah betul nada yang keluar dari musik aneh ini. Musik apakah yang begitu mudah menenangkan hati dan meredam kemarahan ini?”
Sambil mengulurkan alat musiknya, Hermes bersandiwara. “ Seharusnya tidak kulakukan kejahatan terhadapmu. Terimalah ini untuk menunjukkan betapa besar rasa sesalku. Kuciptakan sendiri dari batok kura-kura yang telah kosong, lalu kupasangi senar. Kau telah mendengar sendiri bunyi yang dihasilkannya.”
Apolo yang pemusik merasa bahwa alat musik adalah pemberian terbaik. Dengan menyerahkan musik ciptaannya, Apolo menganggap bahwa Hermes telah memberi sebagian dari jiwanya. “Hermes, ambillah lembu-lembu itu. Kuharap kau mau menerimanya sebagai pengikat persahabatan kita.” Dan Hermes tak hanya mendapatkan lembu-lembu itu. Ia telah mencuri hati Apolo.
Bagi kita yang punya belarasa keadilan, terkutuklah Hermes. Betapa malang nasib Apolo. Tapi bagi sang pemuja kecerdikan, Hermes adalah pahlawan. Pada tahapan tertinggi, perbuatan mencuri Hermes tak ada hubungannya dengan kebendaan lagi, mirip para pemburu yang tidak harus menikmati hasil buruannya, melainkan sekedar mendapatkan kepuasan dari menembak. Kecerdasan yang kita timba dari bangku-bangku sekolah kadang dipakai untuk hal yang tak ada hubungannya dengan logika paling elementer sekalipun. Maka kecerdasan bisa menemukan juga antitesisnya dalam ketidakwarasan. Kwik Kian Gie menamakannya embisil ketika melihat pejabat-pejabat publik merusak dirinya dengan korupsi, walaupun mereka mungkin sudah punya sepuluh rumah mewah dan lima mobil mahal. Daya pikir dan citarasa seorang embisil terkesan aneh. Kecerdasan otak dan emosi positif yang membedakan manusia dari reptil menjadi pudar, walaupun tidak hilang sama sekali untuk tidak menjadikannya hidup hanya dari insting. Ia tetap pintar dan punya emosi, tetapi untuk merusak. Logika berpikirnya hanya sekedar pembenar segala tindakan destruktif. Tak ada lagi rasa iba dan belaskasih. Tak ada rasa takut terhadap Tuhan. Kalaupun beragama, tak lebih dari sekedar tameng. Dan jika kita mencari contoh maka ingatan kita tak akan lepas dari pelaku-pelaku embisil yang dilahirkan oleh sejarah. Nazi Jerman dengan Hitler sebagai kacungnya, adalah ironi bagaimana sebuah negeri yang demikian tinggi peradabannya, memperalat ilmu pengetahuan untuk menemukan cara bunuh yang efisien. Dalam satu hentakan mesin di kamar gas, ratusan nyawa meregang. Mayat mereka dijadikan bahan baku gerak ekonomi. Rambut mereka dicukur untuk menggantikan selimut musim dingin. Tulang mereka remuk untuk digerus menjadi biji-biji kancing. Kulit mereka dikupas menjadi bahan pembuat kap lampu.
Agaknya abad yang pintar membutuhkan disiplin untuk tetap dijalur logika. Jika Hitler membunuh dan Hermes mencuri, pertanyaannya adalah apakah Hitler berhak atas nyawa orang Yahudi dan apakah Hermes berkekurangan, sedangkan dia anak dewa? Jangan-jangan mereka hanyalah benih subur dari keserakahan pada umumnya. Jika disejajarkan dengan perilaku pejabat publik yang suka mencuri, jangan-jangan kita adalah murid sejati Hermes. Kita tahu, mencuri adalah kebiasaan buruk yang sebelumnya lindap di bawah bayang-bayang kemiskinan. Maklum, apa yang mau dicuri kalau duitnya tidak ada. Tapi hanya sehitung jarak sesudah otonomi daerah, kita menjadi serakah. Kepada kita disuguhkan tontonan telanjang tentang koruptor yang mengisi hari-hari pensiun di penjara. Semoga mereka tidak seperti Hermes, merayu penegak hukum dengan alat musik suap. Dan semoga mereka tidak membunuh seperti Hitler, hanya untuk menyangkal bahwa mereka bersalah.