Senin, 21 April 2008

SOKRATES

(sari pidato yang batal dibacakan pada sebuah acara wisuda STFK Ledalero)

Oleh Olanama

Sejarah boleh dibengkokkan, tapi sejarah tak akan melupakan seorang Sokrates. Pada hari ketika ia menenggak racun maut itu, kebenaran sedang diangkat pada tempatnya yang mulia. Tetapi kebenaran selalu bermuka dua. Ia harus diwartakan sekaligus disembunyikan bila manusia dihadapkan pada pilihan yang pelik: mati demi kebenaran atau menyerah demi keamanan diri. Dan Sokrates memilih mati. Mungkin karena ia lebih dari seorang guru. Ia adalah seorang nabi.

Tidak banyak orang berpikir bahwa Sokrates adalah kombinasi yang serasi antara ayah yang pematung dan ibu yang mengabdi pada kesehatan. Menjadi pematung berarti bekerja dengan prinsip proporsional agar patung yang dihasilkan bisa seimbang dan tampak hidup di mata orang. Dan menjadi bidan berarti bekerja untuk keutuhan fisik agar jiwa bisa tentram. Maka berlebihan kalau Sokrates dituduh merusak generasi muda, karena hal itu bertentangan dengan prinsip proporsi seorang pematung dan prinsip kesehatan seorang juru rawat. Tapi Sokrates telah mati karena sebuah proses pendidikan dilihat sebagai perusakkan manusia.

Hari ini, jika pendidikan berpikir itu telah merusakkan manusia maka Sokrates selayaknya minum racun. Tetapi pendidikan itu sedang dihargai dan diakui oleh negara karena kedudukannya sebagai pembangun manusia. Kalau toh banyak kenyataan sosial kemasyarakatan bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan, maka dalam analoginya yang sederhana, kita ibarat sedang merasakan racun pahit pendidikan itu. Sebab, apa artinya hari wisuda kalau fungsi kenabian tidak terlaksana di mata masyarakat?

Ada macam-macam nabi. Ada nabi yang dipuja karena prestasi akademiknya yang gemilang. Ada nabi yang dicaci karena kegagalannya menyelamatkan perahu bangsa yang retak. Dan ada nabi kesiangan yang menjunjung kepalsuan di mulutnya. Tapi hakekat seorang nabi adalah kesaksian hidup dan ketegarannya dalam menghadapi kezaliman.

Dalam konteks kesaksian hidup, seorang sarjana adalah nabi dengan pengertian yang amat utuh. Ada prinsip untuk menjadikan kebenaran sebagai watak ilmiah dan pikiran kritis sebagai pisau bedah bagi penyakit kebohongan yang telah menjadi maniak dalam tubuh bangsa ini. Tetapi kebenaran selalu bermuka dua dan sikap kritis sering berwajah kompromi. Dan inilah yang kita takutkan sebagai hantu bagi fungsi profetis kaum intelektual di abad 21. Kita tak bisa menutup mata ketika mahasiswa dengan suara parau meneriakkan kebobrokan Orde Baru, tetapi setelah masuk ke dalam struktur, mereka tiba-tiba menjadi tikus yang patuh di bawah ketiak birokrasi. Di manakah letak kebenaran dan fungsi kritis yang pernah diteriak-teriakkan?

Ketika Sokrates memberondong kaum muda Athena dengan pertanyaan-pertanyaan, ia sebenarnya tengah mengupas persoalan bangsa seperti ayahnya mengupas bagian yang tak perlu dari sebuah proses pembuatan patung. Kaum muda diajak untuk berpikir dan akhirnya mengupas bagian yang tak perlu dari sebuah bangsa yang mendekati kehancuran. Tetapi resiko mengupas keadaan adalah mereguk racun dari gelas-gelas maut. Racun itu bisa berupa bubuk amunisi yang merobek tubuh para mahasiswa. Gelas maut itu bisa berupa tabung-tabung peluru yang menembusi jiwa para demonstran.

Tapi yang dituntut dari mahasiswa tentu lebih dari sekedar demonstrasi. Ada keharusan membangun keluhuran jiwa (psike) untuk dikonfrontasikan dengan status quo. Sebab hanya dalam pribadi yang punya keluhuran jiwa terdapat kemampuan untuk mengabaikan status quo demi kebenaran dan keadilan. Hak asasi harus dipulihkan, pemerataan pendapatan harus diusahakan, bila perlu dengan mengorbankan nasi di piring dan tidak lupa menuntut pemerintahan yang bersih. Tidak mencuri milik bersama dan makan sendiri ( korupsi), tidak mencuri milik bersama dan makan dengan sesama kawan (kolusi), tidak mencuri milik bersama atau membagi jabatan untuk keluarga ( nepotisme).

Tentu mewujudkan semua impian itu secara simultan di tengah Indonesia raya yang babak belur, rasa-rasanya seperti menggantang asap. Tapi menyandang sebuah idealisme di kepala mengingatkan kita akan pengetahuan sebagai keutamaan yang melebihi ijasah formal. Di dalam pengetahuan terdapat kandungan etika yang menegaskan bahwa: Pertama, orang terpelajar tidak akan melakukan hal-hal negatif. Ia hanya bisa berbuat salah karena keliru atau tidak tahu. Dia tidak sengaja karena tidak tahu apa yang baik baginya di luar disiplin ilmunya. Masalahnya kita hidup di dalam dunia di mana banyak orang sengaja membutakan matanya untuk tidak mengetahui apa yang baik itu. Bisakah kita menjadi nabi di tengah jutaan orang buta?

Kedua, orang terpelajar menyadari pengetahuan sebagai keutamaan dengan hakekat tunggal, sebagaimana kebaikan berlaku umum untuk semua bidang kehidupan. Dengan kata lain, pengetahuan adalah kebaikan tunggal yang harus ditularkan. Masalahnya kita hidup di jaman spesialisasi di mana setiap orang merasa diri pintar pada bidangnya. Bisakah kita menjadi nabi di tengah jutaan orang pintar?

Bukan kebetulan bahwa lulusan tahun akademik ini berada di arus milenium. Persoalan dunia, gereja dan bangsa tidak bisa diterka kemana arahnya, tapi yang pasti bahwa kita bersentuhan dengan keadaan yang tak menentu itu. Waktu itulah kesarjanaan kita diuji dan kenabian kita ditantang. Sokrates akan berjalan pada setiap ruas abad dengan gelas racun di tangan untuk menyodorkan kepada kita, betapa tidak gampangnya menerapkan rumusan abstrak pengetahuan kita dan menarik definisi yang mudah dicerna masyarakat. Lebih sulit lagi, bagaimana kita mengaplikasikan filsafat di tengah kehidupan yang pragmatis ini. Pertanyaannya barangkali: Apakah kegunaan filsafat? Apakah saya tidak menyesal belajar filsafat?

Jawaban atas pertanyaan di atas terletak pada kreativiitas dan eksplorasi sebagai buah yang diharapkan dari pola pendidikan kita. Apalah gunanya pendidikan jika seorang sarjana di masa pendidikan dirasuki oleh apa yang oleh Ivan Illich disebut kurikulum tersembunyi yang mengajarkan orang untuk menerima secara pasif dan bukannya kritik atas gagasan yang dilontarkan? Apalah artinya pendidikan yang membebaskan kalau seorang mahasiswa dicekoki gagasan tunggal di kepalanya bahwa prestasi intelektual terhebat adalah menghafal diktat-diktat seolah-olah hanya satu jawaban pasti untuk setiap pertanyaan. Dan apalah gunanya pendidikan kalau seorang sarjana merasa asing di tengah persoalan hidupnya sambil melihat dirinya terlunta di tengah sempitnya lapangan pekerjaan?

Kita barangkali harus mencurigai rumus-rumus asing dan indoktrinasi yang membelit sistem pendidikan kita menjadi boneka yang ventrilonquist. Di belakang layar kita seakan pandai bersuara, tetapi yang keluar adalah bahasa teknis dan bukannya ekspresi diri. Tapi kita tak perlu melarikan diri, sebab kemuliaan sang guru terletak pada ketegarannya menghadapi persoalan. Kelak kalau kemuliaan itu tidak ada pada kita, barangkali karena nilai sebuah kemuliaan selalu tak ada taranya. Sekurang-kurangnya kita tidak ingin mengkhianati sang guru dalam menampakkan pratanda Allah, mengupas bagian yang rusak dari negara ini dengan pisau keberanian dan kejujuran. Sokrates telah menampakkan pratanda itu, yang oleh Plato disebut monion semenion. Berani menerima tugas profetis sebagai intelektual berarti berani menampakkan jejak Tuhan di dunia ini.

Akhirnya, sebuah permulaan sedang berlangsung untuk menempatkan diri di tengah dunia. Kita tidak harus menjadi sarjana untuk mengerti semua persoalan hidup. Tapi sikap dan cara hidup kita menunjukkan setinggi apa kelas seseorang dalam masyarakat. Barangsiapa menyangsikan kesarjanaannya, silahkan merobek ijasahnya di depan Sokrates.

Rabu, 09 April 2008

Mengenang Eskoda


Oleh: Olanama

Tak ada yang ingat persis, kapan ia melenceng dari jalan dan membentur pagar tembok di jalan Eltari. Isi kepalanya terburai. Rekan-rekannya di Flores Pos, harus membolak-balik koran lama, untuk mengingat tanggal kematiannya. Dia hanyalah lelaki dekil yang tidak sempat menikah. Hidup di kamar darurat. Merokok. Melukis. Sesudah itu mati. Dan tentang kematian, ia menulis:

Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samodra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini

Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…

Puisi yang tercatat di seri Buku Vox ini, ditulis Eskoda tahun 1999 ketika masih belajar di Ledalero. Waktu itu ia masih berkemauan menjadi seorang imam. Tapi idealisme membawanya pergi dari biara, dan mengabdikan hidupnya hanya kepada seni. Lihat saja berbagai karikatur yang pernah menghiasi halaman Dian dan Flores Pos antara tahun 2000-2003. Lihat saja berbagai lukisan yang tergantung, baik di Nita Pleat, Maumere, semasa masih kuliah, maupun di Biara santu Yosef, Ende, semasa menjalankan orientasi pastoralnya. Om Sius teman kosnya di jalan Eltari seperti masih mencium bau cat dari sisa lukisan Eskoda. Tapi tidak banyak yang tahu, bahwa selain mati sebagai pelukis, Eskoda yang mantan wartawan Flores Pos itu, juga adalah seorang penyair. Puisi-puisinya tersebar di setiap terbitan majalah dinding kampus, maupun di halaman seri buku Vox. Tesisnya tentang Chairil Anwar menunjukkan besarnya minat pada puisi. Bahkan cara ia merokok, tak ubahnya Chairil Anwar dalam kumpulan puisi: Aku Ini Binatang Jalang.

Apa pentingnya Eskoda? Idealismenya. Ketika sama-sama bekerja di dapur majalah Vox, Eskoda telah menyatakan niatnya untuk menggali sastra Flores, yang menurutnya, masih seperti lahan tidur. Para pegiat sastra Flores masih bisa dihitung dengan jari, itu pun hanya sekedar memenuhi hobi. Kita hanya bisa mencatat Dami N. Toda yang mendunia. Selebihnya, tak seorangpun benar-benar terjun ke dunia sastra. Ada John Dami Mukese dengan Doa-Doa Semesta dan Puisi-Puisi Jelatanya. Mukese, sehari-harinya adalah seorang pastor. Ada Maria Matildis Banda, juga tidak benar-benar purna waktu. Dan ada puluhan penulis lainnya yang menyebarkan tulisan secara temporal di koran lokal. Satu-satunya terobosan, telah dibuat oleh Ledalero lewat festival yang menghasilkan kumpulan Cerpen dan Puisi: Tapak-Tapak Tak Bermakna.

Idealisme yang ditawarkan Eskoda, masih berupa mimpi yang telah coba diterjemahkan dalam hidupnya. Dalam pembicaraan suatu hari di tahun 2000, ia sempat ragu antara memilih jalan imamat dan jalan sastra. Saya meyakinkannya dengan sebuah surat dari Rusia. “Tentu, teman menyisakan pertanyaan tentang bagaimana tugas pokok sebagai imam. Tapi imamat adalah suatu tamasya yang menyenangkan. Kapal yang membawamu pergi akan menyinggahi seribu tempat untuk melahirkan puisi yang tidak akan kau ciptakan bila kau diam di rumah dan mengurus anak-istrimu. Kau hanya akan sedikit direpotkan dengan doa untuk menyenangkan penderma dan para pemimpin agamamu, dan tentunya merayakan misa seperti apel bendera di senin pagi. Tapi ada beda, bahwa dulu pada setiap hari senin kita menggerek sepotong kain kumal untuk mendengar amanat inspektur upacara yang klise dan membosankan. Sedangkan kini dalam khotbahmu, engkau menggerek beribu-ribu lembar Kitab Suci yang isinya penuh muatan sastra, lebih-lebih Perjanjian Lamanya yang mempesona.

Di kemudian hari ketika Eskoda meninggalkan biara, saya tahu, surat itu tidak mempan. Dia tidak membalasnya. Tapi dengan tekun saya mengikuti setiap investigasinya di Flores Pos. Ia memburu berita. Ia Melukis. Ia menulis puisi dan artikel. Sendirian. Tidak menikah. Mati. Tak seorang pun peduli idealisme apa yang pernah Eskoda usung. Tapi dari produktivitasnya yang tercecer di sana sini, dia telah menyumbang sesuatu yang berharga bagi seni.

Lalu bagaimana dengan sastra Flores yang pernah sesumbar untuk ia gali? Sepertinya kematian memenggal segala. Ia yang sendirian di liang kuburnya, telah memproklamirkan kesedihan itu. “Kuusung jenasahku sendiri menyinggung tepian samodra. Angin yang mengawal pantai menebar bau kematian. Kumakamkan diriku sendiri di sini.Tanpa kembang seribu janji. Tiada pula syair-syair kebangkitan.

Eskoda telah berjuang untuk mengusung idealismenya. Lilin yang coba ia nyalakan tak kuat melawan angin. Ia memakamkan kegagalannya sekaligus memadamkan lilin yang coba ia nyalakan. Ia juga seperti ragu akan kebangkitan. Hingga ajalnya, tak pernah ada perbincangan tentang sastra Flores. Jika sekali kelak Flores mewujudkan diri sebagai provinsi, kita pun harus bicara tentang tradisi kebudayaan dan khasanah sastra daerah. Tapi jejaknya tidak pernah kita tahu dari mana. Tidak juga dari Eskoda.

Sedianya saya menulis lagi sebuah surat untuk menantang. Di catatan harian, tertulis 14 April 2003. Siapa mengira kalau tanggal itu adalah hari kematian Eskoda? Surat itu tak jadi dikirim setelah mendengar berita kematiannya. Membaca ulang surat itu terasa seperti menggali potongan mimpi yang terpenggal.

“Eskoda….

Gairah untuk memperistrikan sastra menggebu-gebu di sini, ketika kita mendapati hampir semua orang amat gemar membaca. Di ruang-ruang tunggu, di bangku-bangku metro dalam kepadatan penumpang, bahkan di atas jambangan selagi mencemplungkan tinja, orang tak berhenti membaca. Tentu tidak semua membaca sastra. Tapi menilik kenyataan bahwa para sastrawan besar Rusia sangat dimanjakan oleh apresiasi masyarakatnya, kita bisa memastikan bahwa karya mereka tidak tinggal diam di rak-rak buku berdebu. Kita bisa dengan gampang menemukan satu bait puisi Aleksander Pushkin pada sesobek kertas. Kita bisa menjumpai patung Gorki atau Tolstoi atau Destoyevski yang tegak di setiap kota kelahiran mereka. Dan kita bisa mendengar karya mereka dibacakan pada setiap peringatan hari ulang tahun. Satu langkah lagi kita harus memindahkan gairah ini ke sebuah pulau kecil, Flores, tempat di mana sastra akan dikawinkan dengan tradisi budaya kita yang kaya namun belum terjamah.

Kini, setelah empat tahun kematiannya, tak ada tanda kebangkitan yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan meninggalnya seorang Eskoda.