FLORES PROVINSIKU, JAWA BAHASAKU
Oleh: Olanama
Barangkali analogi ini agak dipaksa-paksakan. Seseorang telah mulai menampakkan tanda-tanda pikun, ketika pulang dari kamar kecil tanpa menutup resleting celananya. Atau lebih dari sekedar pikun, ada juga yang langsung membuang hajat di celana. Dan cerita tentang cara berbahasa Indonesia yang baik, mungkin datang dari celana. Tidak sekedar membuang kata seperti si pikun membuang hajat. Melainkan dengan kaidah yang tepat.
Guru-guru mengajari kita bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut Ejaan Yang Disempurnakan. Ada murid yang dipaksa menelan daun pepaya mentah ketika terjebak bicara bahasa ibu. Mulut seorang teman bahkan disulut dengan puntung rokok karena lalai berbahasa Indonesia. Dan siapa pernah berpikir kalau akhirnya terjadi lompatan besar dalam cara berbahasa setiap kita. Di ruang baca dan percakapan, di kotak televisi, tak hanya terdengar kata-kata Indonesia, tapi juga Inggris, dan aksen Jawa.
Coba simak kutipan berikut: asyik niye, emangnya gue pikirin, gitu lho, tenang aja, oh my god, yes of course, akhirnya dia married juga. Tak kurang dari seorang penulis bernama Remy Sylado, menjadi berang dengan kekacauan ini. Alih-alih tampil beda, para pelajar dan elite politik mengajari rakyat bermain gincu dengan bahasa yang rancu. Remy menyesalkan kata-kata yang menyembur dari mulut para pesolek bahasa. Dan ia masgul, jangan-jangan ikrar pemuda di tahun 1928 melaju ke prayojana baru, satu nusa dua bahasa. Sebab, bahasa Indonesia, kata Remy, telah diperkosa menjadi semacam gado-gado. Beberapa contoh menjelaskan hal ini. Di tahun 2001 para petinggi yang nota bene adalah terpelajar, menghadapi wawancara di banyak media. Sekjen MPR, Umar Basalim di SCTV mengatakan, “Bagaimana pun, the show must going.” Ia menyebut Sidang Istimewa menjatuhkan presiden Gus Dur, sebagai suatu show. Di TVRI, Jendral Sudrajad mengatakan, “Pemimpin politik harus memenangkan followers-nya.” Di majalah Gatra, Amien Rais bilang, “Pertemuan tersebut menghasilkan unspoken conclusion.” Dan di Metro TV, Sri Mulyani mengomentari reaksi pasar atas kebijakan baru dengan berkata, “Kalau good news, mereka akan sambut, kalau bad news, mereka akan punished.”
Tapi itu penyakit pejabat. Mereka perlu malu, bahwa puluhan tahun lalu, pendahulu kita menyerap dengan baik kata-kata asing agar tidak latah seperti beo. Kata-kata seperti: dokar, cikar, peri, musti, peluit, sama, justru dan hore merupakan serapan elegan dari: dog car, cheek car, fairy, must, flute, same, just true, dan hurrah. Bahkan di Flores, kata lego jangkar diserap dari kebiasaan Belanda yang membuang sauh sambil berseru, let’s go.
Kecanggihan menyerap bahasa itu, kini tak ada lagi. Yang ada hanyalah menelan bulat-bulat bahasa orang. Maka ketika bicara tentang provinsi Flores, kita kesulitan mencari identitas budaya yang mestinya nyata dalam bahasa. Mungkin akan lebih mudah membentuk provinsi Jawa di Flores, ketimbang memikirkan provinsi Flores tanpa identitas.
Kita prihatin bersama Remy Sylado. Tidak ketinggalan, seorang pekerja radio di sebuah ruang diskusi. Dengan nada prihatian, penyiar wanita itu mengutip temuan para pengkaji masyarakat Flores di Universitas Erlangga. Orang Flores menurut temuan itu, suka membanggakan masa lalunya, terlebih yang bangsawan. Mereka tak ingin diinjak martabat dan harga dirinya, tapi secara tidak sadar merendahkan martabatnya.
Tak ada penjelasan lanjut dari wartawati radio itu, namun kita membayangkan sebuah harkat yang dijual demi ekonomi. Kita merantau untuk memperkaya majikan, sementara banyak lahan garapan telantar di kampung halaman. Di Jakarta, orang Flores bisa menjadi tukang pukul. Kalau terpaksa mencuri, ia akan membuat tanda salib. Sebab dia Katolik. Dan sekembalinya ke kampung halaman, ia akan menyelipkan kata enggak untuk mengatakan tidak.
Malam sesudah diskusi itu, RRI Ende mengudara. Dari baterei yang suak, masih sempat terdengar suara latah sang penyiar, “Okey, deh, kita dengerin lagu, yuk.”
Selasa, 11 Maret 2008
Langganan:
Postingan (Atom)